Jumat, 06 Agustus 2010

Food Estate, Untuk Siapa?

Masyarakat asli Papua memiliki kearifan lokal yang unik dalam analogi pola interaksi
kehidupan mereka dan alam. Mereka tidak hanya memiliki dimensi ekonomi saja
sebagai penunjang kehidupan, akan tetapi lebih dari itu memiliki makna
religius dan sosial yang sangat berpengaruh pada eksistensi mereka.
Masyarakat Papua mengidentikkan langit dengan sosok ayah yang superior yang
menurunkan embun dan hujan. Menjelajah ke segala arah untuk mencari
kehidupan dan memberi rasa aman. Tanah dimaknai sebagai ibu yang memberikan
kesuburan dan nutrisi. Hutan adalah wujud dari yang Maha Kuasa. Hal ini lah
yang menyebabkan peran dan keberadaan hutan bagi masyarakat Papua tidak
dapat digantikan dengan uang. Namun kearifan lokal itu sedang terkikis dan
akan mendapat tantangan frontal dari perkembangan politik ekonomi yang
semakin mengarah kepada liberalisasi di segala sektor. Ketika arus modal
masuk dan Papua dilihat potensial untuk mengembangkan perkebunan dan
pertambangan, kekayaan kultur tadi kerap ditundukkan dan dikalahkan oleh
kepentingan kapital.

Adalah konsep *food estate* yang menjadi *momok* bagi pertanian tradisional
yang bukan hanya menjadi lahan penghidupan namun juga merupakan tradisi
budaya (*agri-culture*) yang memiliki keunikan tersendiri di setiap daerah.
Dengan dalih untuk mencapai kecukupan pangan dalam negeri dan ekspor, tahun
2010 ini pemerintah akan melakukan pengembangan lahan pertanian pangan dalam
skala besar atau dalam bahasa internasionalnya *food estate*.

*Merauke, target utama pengembangan food estate*

Salah satu yang menjadi target utama pemerintah mengembangkan *food
estate*adalah Kabupaten Merauke, Papua. Sejak beberapa tahun terakhir,
kabupaten yang kini dinahkodai Bupati Johanes Gluba Gebze sudah mencanangkan program
MIFE (*Merauke Integrated Food and Energy Estate*). Berdasarkan keterangan
dari Menteri Pertanian Suswono, pemerintah pusat berniat memanfaatkan lahan
datar di Merauke sebagai sumber pembangunan pertanian untuk mencapai sasaran
kecukupan pangan dalam negri dan ekspor. Sekitar 500.000 Ha lahan pertanian
yang ada di Merauke direncanakan akan dijadikan sebagai tempat untuk
pengembangan lahan pertanian pangan dalam skala besar.

Merauke memiliki cadangan lahan pertanian mencapai 2,49 juta hektare,
terdiri dari luas lahan basah sekitar 1,937 juta Ha dan lahan kering 554,5
ribu Ha. Bahkan, lahan yang ada hampir semua datar sehingga cocok untuk
usaha agribisnis skala komersial. Potensi raksasa itu jelas cukup
menggiurkan calon investor. Dalam konsep MIFE ini, nantinya dilakukan
penataan manajemen lahan dalam satu usaha pertanian yang terintegrasi.
Minimal satu hamparan lahan seluas 1.000 ha yang terdiri 70% usaha tanaman
pangan, 9% usaha ternak, 8% perikanan darat, 8% usaha perkebunan dan 5%
untuk penggunaan lainnya.

*Food Estate* atau kita sebut saja Perkampungan Industri Pangan merupakan
konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi
mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu
kawasan lahan yang sangat luas. Hasil dari pengembangan Food Estate bisa
menjadi pasokan ketahanan pangan nasional dan jika berlebih bisa dilakukan
ekspor. Dan karena skala pertanian ini sangat besar dan luas, maka
pengelolaannya juga dilakukan oleh perusahaan industri. Tentu proyek
ambisius food estate ini menarik banyak investor perusahaan-perusahaan
industri pangan nasional maupun konglomerasi internasional. Sedikitnya
terdapat enam swasta nasional yang sudah siap mengucurkan uangnya untuk
menggarap agribisnis di MIFE. Mereka adalah Bangun Tjipta, Medco Grup,
Comexindo Internasional, Digul Agro Lestari, Buana Agro Tama, dan Wolo Agro
Makmur.

Pemerintah telah membuat sejumlah payung hukum bagi konsep *food estate* ini
sehingga investasi swasta, termasuk asing, bakal tersedot ke dalam negeri.
Penerbitan Instruksi Presiden No 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi
2008-2009, termasuk di dalamnya mengatur investasi pangan skala luas (*food
estate*). Bahkan saat ini kementrian pertanian masih menunggu dikeluarkannya
PP tentang pemanfaatan tanah terlantar.

Setiap perusahaan bisa mendapatkan izin untuk mengelola lahan maksimal 10
ribu hektare, kecuali untuk badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah. Izin pengelolaan diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan bisa
diperpanjang lagi untuk 35 tahun lalu 25 tahun. Adapun pembagian lahan untuk
proyek di Merauke, 1 juta hektare lahan akan dialokasikan untuk penanaman
tanaman pangan, 100 ribu hektare dialokasikan untuk peternakan, 100 ribu
hektare untuk perikanan, dan sisanya untuk perkebunan.

Area yang tersedia dibagi dalam 10 cluster sentra produksi pertanian dan
empat cluster prioritas, yaitu cluster Greater Merauke (padi sawah dan gogo
serta jagung), Salor (padi, tebu, jagung, sapi, kacang tanah, dan kacang
kedelai), Kartini (jagung, kacang tanah, kedelai, dan buah-buahan), serta
Muting (Kacang tanah, sawit, dan buah-buahan).

Dari sini dapat dilihat bahwa konsep *food estate *ini akan membuka keran
sebesar-besarnya bagi para pemodal untuk dapat menguasai lahan pertanian
bahkan dapat dikatakan konsep *food estate * ini merupakan *land
grabbing*(perampasan tanah-red) pertanian oleh pihak swasta yang
dilegalkan pemerintah. Akibatnya, kepemilikan lahan milik petani rakyat berkurang
secara signifikan, kehidupan petani akan memburuk karena tergusur korporat,
dan petani akan menjadi buruh di tanahnya sendiri.

Pengembangan konsep *food estate *ini membahayakan karena swasta asing bisa
menguasai pertanian dari hulu sampai hilir. Sektor yang berkaitan dengan
hajat hidup orang banyak ini tidak seharusnya dilepas pada mekanisme pasar,
karena dapat mengganggu cita-cita kedaulatan pangan akibat kemungkinan
terjadinya monopoli dan harga yang tak dapat dikendalikan.

Bagi kalangan investor besar, pengembangan *food estate *bisa memberikan
jawaban. Tapi bagi peningkatan kesejahteraan petani yang berlahan sempit, *food
estate *belum mampu menjawab persoalan malah makin memperparah keterpurukan
petani setelah kebijakan-kebijakan berbau neoliberal yang diterapkan
pemerintahan ini. Pengembangan *food estate *justru bertentangan dengan
upaya pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani.

Pembukaan lahan secara besar-besaran yang akan dilakukan oleh para investor
dalam program *food estate* pasti menimbulkan kegelisahan bagi masyarakat
adat di Kabupaten Merauke. Pasalnya, dalam hal ini pihak adat tidak pernah
diajak berembuk bersama dengan pemerintah maupun investor. Sehingga
masyarakat adat dirugikan dengan keadaan tersebut. Warga Papua akan menjadi
penonton dan akan semakin jauh terpinggirkan. Dan program ini menurut
Moyuend wakil ketua I LMA (Lembaga Masyarakat Adat) Papua kurang pas karena
pemerintah membuat suatu loncatan dari masyarakat yang saat ini masih peramu
(meramu sendiri makanannya) ke arah yang lebih tinggi. Masyarakat
tradisional Papua yang minoritas akan terpinggirkan jika pengelolaan tanah
beralih ke sistem modern dan dengan dibukanya kesempatan yang luas untuk
pendatang masuk ke merauke.

Pemerintah dapat belajar dari penerapan program perkebunan inti rakyat (PIR)
di Papua pada awal tahun 1980-an, dampak sosial yang ditimbulkan sangat
tinggi. Masyarakat asli Papua dihadapkan pada peralihan pola hidup, dari
meramu menjadi pola industri yang berbasis perkebunan rakyat yang sebenarnya
asing bagi mereka. Hutan kayu dan sagu yang sebelumnya menjadi basis hidup
mereka tiba-tiba lenyap dan berganti menjadi kebun kelapa sawit. Reproduksi
pangan seperti umbi-umbian dan sayur mayur mulai sulit dilakukan, binatang
buruan sulit didapatkan.

Program *food estate *yang dicanangkan ini semakin membuat masyarakat asli
Papua terpinggirkan. Karena harus diakui dalam dimensi investasi, penguatan
sosial masyarakat kerap diabaikan. Yang menjadi fokus utama adalah
pertumbuhan investasi dan laju modal. Gagasan dan rasa memiliki masyarakat
asli Papua perlu diperhatikan karena mereka melihat tanah bukan semata-mata
sebagai modal usaha. Lebih dari itu, tanah adalah bagian eksistensial dari
budaya dan keberadaan mereka.

Berikut adalah kemungkinan kerugian implikasi *Food Estate*:

1. Potensi lahan yang dimiliki oleh rakyat Indonesia tidak bisa maksimal
dimiliki dan dikelola secar penuh oleh petani Indonesia. Apalagi jika
mengacu kepada Undang-undang No 25/2007 tentang Penanaman Modal (UUPM)
dengan berbagai turunannya yang memberikan peluang bagi investor untuk
semakin menguasai sumber-sumber agraria, Peraturan Presiden No 77/2007
tentang daftar bidang usaha tertutup dan terbuka disebutkan bahwa asing
boleh memiliki modal maksimal 95 persen dalam budi daya padi. Peraturan ini
jelas akan sangat merugikan 13 juta petani padi yang selama ini menjadi
produsen pangan utama. Apalagi 77 persen dari jumlah petani padi yang ada
tersebut masih merupakan petani gurem.
2. Jika perpres atau peraturan lain yang dihasilkan pemerintah tentang
Food Estate ini lebih berpihak kepada pemodal daripada petani maka
kemungkinan konflik seperti konflik di perkebunan besar yang ada selama ini
akan terjadi juga di Food Estate. Bisa jadi akan muncul “tuan takur” baru
yang menguasai lahan begitu luas dan menjadi penguasa setempat.
3. Jika peraturan yang lahir nanti memberikan kemudahan dan keluasan bagi
perusahaan atau personal pemilik modal untuk mengelola Food Estate maka
karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant based
and family based agriculture menjadi corporate based food dan agriculture
production. Kondisi ini justru melemahkan kedaulatan pangan Indonesia.
4. Jika pemerintah tidak mampu mengontrol distribusi produksi hasi dari
Food Estate maka para pemodal akan menjadi penentu harga pasar karena
penentu dijual di dalam negeri atau ekspor adalah harga yang menguntungkan
bagi pemodal.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih menyesalkan langkah
yang diambil pemerintah untuk mendongkrak produksi padi nasional melalui
program *food estate*. Pengembangan *food estate *justru bertentangan dengan
upaya pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani.
Menurutnya, dengan adanya pembukaan *food estate*, maka karakter pertanian
dan pangan Indonesia makin bergeser dari *peasant-based and family-based
agriculture *menjadi* corporate-based food *dan *agriculture production*.
Kondisi ini justru melemahkan kedaulatan pangan Indonesia.

Pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan persoalan kesejahteraan petani
ketimbang mengundang investor besar membangun *food estate*. Sebab, problem
petani berlahan sempit dan kesejahteraan petani hingga kini belum mampu
diselesaikan pemerintah. Setidaknya, kini ada 9,55 juta kepala keluarga (KK)
petani yang kepemilikan lahannya di bawah 0,5 ha. Karena tidak mungkin
petani yang mempunyai lahan sempit bisa sejahtera.

Selasa, 24 November 2009

training of trainer

Review Kegiatan
Training of Trainer, Fasilitator pendidikan Politik. Bakumsu.
Mess Cinta Alam, 5-7 Agustus 2009
Oleh: Foo*

Bentuk kegiatan
Bentuk kegiatan yang didapat dalam training ini terdiri dari Pemberian materi dan tanya jawab dalam ruangan, Nonton Film dan mendiskusikannya yang dilakukan setiap malam, games disetiap kesempatan jeda yang ada, Studi kasus dan Diskusi kelompok, Role Play (bermain peran) dan simulasi.

Materi-materi
Materi dalam ruangan pertama yang diberikan adalah Hak Asasi manusia dan Demokrasi pada tanggal 5 agustus 2009, alasan pemberian materi ini didasarkan pada paradigma fasilitator pendidikan politik yaitu Bakumsu yang menganggap seorang fasilitator politik harus berbasiskan pada nilai-nilai HAM dan Demokrasi. Pemateri dalam tema ini adalah Pdt. Immanuel Ginting, secara garis besar dia menjelaskan posisi HAM dan berseberangannya dengan konsep globalisasi sebagai buah kapitalisme. HAM yang menjamin kebutuhan dasar manusia seperti akses pada Air, Tanah, dan sumber kehidupan lain serta pendukungnya seperti pendidikan bertentangan dengan pandangan paradigma Kapitalisme yang memahami kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan Ekonomis, dimana kebutuhan Ekonomis adalah suatu kebutuhan yang dapat dipenuhi hanya dengan melalui transaksi pasar (jual-beli). Singkatnya bila perspektif HAM melihat kebutuhan-kebutuhan tersebut sebagai kebutuhan dasar manusia yang wajib dipenuhi oleh Negara yang bertanggung jawab kepada warganya, perspektif Ekonomi pasar melihatnya sebagai komoditi pasar yang bernilai tinggi karena dibutuhkan oleh banyak orang. Mengenai tema Demokrasi, seperti yang sudah banyak dibahas tentang tema tersebut, pembahasan tema ini hanya pengulangan-pengulangan saja yang mengingatkan kita bahwa inti dari demokrasi adalah Kedaulatan Rakyat, dalam pembahasan disinggung juga tentang realitas demokrasi di indonesia, maka terjadilah diskusi kecil tentang demokrasi Substansial dan Demokrasi Prosedural Formal. Realitanya di Indonesia yang terjadi adalah Demokrasi Prosedural Formal melalui pemilu-pemilu dan Pilkada, terpilihnya perwakilan rakyat yang duduk di DPR dan DPRD dianggap sebuah representasi dari demokrasi seutuhnya, tanpa melihat gejala distorsi yang terjadi pada proses pemilu-pemilu tersebut dimana Suara dikonversi menjadi uang atau Uang dikonversi menjadi Suara, belum lagi kecurangan-kecurangan administratif yang terjadi pra dan pasca pemilu hingga terpilihnya perwakilan rakyat yang duduk dikursi dewan perwakilan. Tentu itu bukan demokrasi yang diharapkan untuk merubah keterpurukan bangsa ini, demokrasi substansial yang terwujud dari adanya mekanisme kontrol rakyat terhadap wakilnya belum terlaksana di republik ini. Begitu juga tentang demokrasi di bidang ekonomi, masih jauh dari mimpi kesejahteraan rakyat. Demokrasi prosedural dibidang politik dan persaingan bebas di bidang ekonomi dimana modal paling kuat yang bersuara paling lantang dan bukan kebutuhan mayoritas penduduk miskin.

Materi kedua yang diberikan pada hari kedua di pagi hari adalah Komunikasi Politik. Pemberian materi ini dianggap penting dan relevan dengan tugas dan tanggung jawab seorang fasilitator pendidikan politik. Komunikasi politik yang saya pahami dari pemaparan pemateri dalam training ini adalah cara atau usaha penyampaian ide dengan maksud/tujuan mempengaruhi orang luas untuk menerima ide tersebut.
Apabila politik diartikan sebagai; siapa mendapatkan apa, kapan dan bagamana. Maka Komunikasi Politik adalah siapa mengatakan apa, untuk siapa, melalui media apa, dan bagaimana pengaruhnya. Materi komunikasi politik ini penting dengan sendirinya karena pretensi ada pertarungan ditingkat ide, dan dibutuhkan strategi dan taktik agar ide kita yang menang serta dapat dijalankan ditingkat praksis dan bermanfaat bagi lapisan yang lebih luas yaitu masyarakat secara umum. Materi ini kemudian dilanjutkan dengan materi Analisa Politik.

Materi Analisa Politik merupakan materi teoritis yang ketiga yang diberikan didalam ruangan pada hari kedua sekitar puku 10.30 Wib. dari pemaparan pemateri yang bekerja secara tim, saya dapat mengatakan bahwa analisa politik yang dimaksudkan oleh fasilitator training ini adalah analisa politik yang bersifat praktis, seperti bagaimana memenangkan suara dalam pilkada. Seperti misalnya dalam sebuah wacana yang dilemparkan oleh pemateri tentang partisipasi politik seperti apa yang dapat dilakukan pada tingkat sebuah desa. Pada awal pemahaman saya, saya mengira arahan dari wacana ini adalah kontrol masyarakat terhadap kinerja aparatur pemerintahan desa, namun setelah pemateri melanjutkan pembahasan ternyata yang dimaksud adalah bagaimana mengambil alih posisi/jabatan strategis seperti sekretris desa, kepala desa dan badan perwakilan desa untuk tujuan yang tentu saja pragmatis demi lancarnya seluruh kebijakan yang pro terhadap rakyat. Partisipasi politik masyarakat desa diharapkan terwujud dengan pembentukan kelompok dan pertukaran suara mereka menjadi jabatan. Berikut beberapa catatan mengena materi ini,
Pendekatan analisa politik ada tiga jenis:
1. Pendekatan Aktor
2. Pendekatan Kelembagaan
3. pendekatan Budaya
Langkah-langkah Analisa Politik:
1. Identifikasi Masalah
2. Buat Pertanyaan; 5w 1h
3. Mempelajari/membandingkan masalah di tempat lain
4. Membuat penafsiran dan penjelasan
Dimensi Analisa Politik
1. nilai- nilai (ideologi)
2. Struktur Kekuasaan
3. Budaya
4. Partisipasi
5. Perubahan- perubahan yang ada
Kata kunci dari analisa politik adalah Kuasai informasi (bahan keterangan)

Setelah pemaparan materi Analisa Politik secara teoritis diadakan diskusi kelompok, kelas dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing berjumlah 5 orang untuk menganalisis sebuah isu dan dicari akar masalahnya dan akibat akhirnya serta kaitannya dengan politik. Contohnya adalah masalah kelangkaan pupuk bagi petani, persoalan ini dibahas dimulai dari penyebab terjadinya kelangkaan pupuk tersebut hingga dampak yang diakibatkannya.

Materi selanjutnya yang diberikan pada hari kedua adalah Dasar-dasar Fasilitator.
Dari judulnya tentu saja materi ini sudah dapat ditebak isinya, dalam materi ini pemateri menjelaskan apakah fasilitator itu dan bagaimana fasilitator itu bekerja. Fasilitator pada dasarnya adalah untuk mempermudah, mempermudah materi dan memperjelasnya, pada hari terakhir acara, peserta ditugaskan menjadi fasilitator dalam tim yang terdiri dari dua orang, tiap tim pada hari sebelumnya mendiskusikan jenis fasilitasi apa yag akan dilakukan keesokan harinya dan tema apa yang diangkat, simulasi fasilitator ini adalah akhir dari kegiatan pada Training ini.mengenai tips dan bagaimana memfasilitasi yang baik dapat dilihat pada file softcopy presentasi materi tersebut yang dibagikan pada peserta.

Film yag ditonton dan didiskusikan adalah:

1. Che Guevara, yang menceritakan keheroikan perjuangan revolusi kuba oleh Ernesto guevara
2. Thank you for Smoking, yang menceritakan seorang Lobbyist perusahaan tembakau yang gigih memperjuangkan kampanyenya bahwa merokok tidak berbahaya.

Refleksi
Setelah mengikuti kegiatan ini peserta yang merupakan kelas dasar dalam Training ini berhak dan akan diundang kembali dalam training yang sama dalam kelas lanjutan. Peserta dalam kelas training yang lalu telah berkomitmen untuk membangun relasi dan kesatuan untuk masing-masing dapat memberi kontribusi pada wilayah binaan diluar wilayahnya sendiri. Peserta dapat berkontribusi pada organisasinya dan binaannya masing-masing.

*foo: adalah peserta training yang diutus mewakili SPI sumut bersama Nurhidayat mahasiswa ilmu politik angkatan 2005.

Selasa, 15 September 2009

seminar sehari di FP USU

Beberapa waktu lalu saya mengikuti seminar yang bertema kedaulatan pangan yang berhasil di wujudkan di Indonesia pada tahun 2008 kemaren. Acara tersebut dilaksanakan di fakultas pertanian universitas sumatera utara. Penyelenggara kegiatan tersebut secara resmi adalah PEMA USU, ini kalau dilihat dari undangan yang saya terima, disitu tertera penyelenggara dan stempel instansi yang mengundang.
Namun setelah beberapa saat saya berada dalam ruangan seminar di Fakultas ekonomi tersebut saya menyadari ada benang merah antara elemen-elemen yang terlibat dalam acara tersebut. Instansi pertama adalah penyelenggara; PEMA USU yang presidennya merupakan kader dari KAMMI, lalu ada instansi yang tidak tersebut di undangan namun ternyata berperan juga dalam acara tersubut yaitu PPNSI, berikutnya adalah tamu undangan yang dijadwalkan membuka acara namun ternyata terlambat tapi masih diberi juga kesempatan untuk akhirnya menutup acara yaitu wakil gubernur Sumatera Utara Gatot pujonugroho. Dan instansi terakhir yang saya pikir punya benang merah dengan instansi lainnya adalah menteri pertanian yang kehadirannya diwakili oleh sekretaris kementrian tersebut. Sudah bisakah anda melihat keterkaitan yang ada diantara instansi tersebut? KAMMI yang kadernya menguasai PEMA USU merupakan organisasi mahasiswa onderbouw- nya PKS (partai keadilan sejahtera), PPNSI adalah organisasi bentukan kader PKS yang fokus pada petani dan nelayan, tentu untuk memperlebar cakupan afiliasi. Gatot pujonugroho tentu sudah tidak dapat dipisahkan lagi dari bayang-bayang partainya, dan kementrian pertanian RI yang menterinya Anton Apriantono merupakan kader dari partai Islam yang mengaku modern tersebut. Rapi sekali bukan sinergi antara mereka membuat sebuah acara yang membahas topik pertanian, yang strategis secara politis dan dilaksanakan secara terbuka di wilayah kampus?

Sebenarnya saya tidak mempersoalkan agenda apapun yang tersembunyi dari acara tersebut, bahkan saya sangat kagum kepada para kader partai tersebut yang mampu mengkombinasikan secara efisien institusi-institusi yang mereka kuasai. Bagi orang yang tidak jeli melihat fenomena itu maka acara seminar tersebut pasti terkesan seperti seminar seperti biasanya, karena yang institusi yang terkait memang berperan sesuai dengan wilayah kerjanya. PEMA USU sebagai panitia lapangan yang mengorganisir acara, PPNSI sebagai stake holder, Kementrian Pertanian sebagai Narasumber objek, dan Pemprovsu sebagai tamu kehormatan. Apakah peran fakultas pertanian disini? Tentu agar tidak terlihat ganjil dan acara berjalan dengan lancar pihak dekanat dilibatkan sebagai salah satu pembicara di seminar itu, yang anehnya hanya itulah yang terlihat dari perannya dalam acara tersebut, karena acara tersebut telah dipersiapkan secara matang teknis dan materil pendanaannya tanpa bantuan dekanat pertanian. Tidak heran tentunya dari mana panitia mendapatkan pendanaan itu.

Kalau dari isu politis yang dapat dimanfaatkan dari acara tersebut saya menangkap ada beberapa point yang bisa dijadikan bahan opini, pertama keberhasilan swasembada beras tahun 2008 yang diklaim oleh PKS adalah buah pikiran kadernya Anton Apriantono, lalu bisa saja acara tersebut merupakan manuver politik Gatot untuk lebih populis dibanding gubernurnya, hubungan kerja mereka berdua akhir-akhir ini diakabarkan kurang harmonis layaknya fenomena SBY-JK, hal ini tentu sah-sah saj dilakukan gatot. Acara seperti ini juga bisa memperkuat konsolidasi antar lembaga yang memiliki benang merah tersebut maupun anggota masing-masing lembaga tersebut. Terakhir mungkin adalah semakin intensnya kegiatan yang mereka laksanakan dikampus yang berimplikasi semakin akrabnya dunia akademis yang seksi ini pada partai tersebut.
Ini merupakan kerja-kerja dari agenda kampanye politik yang cerdas dilaksanakan oleh partai keadilan sejahtera, dan reaksi yang tepat untuk menjawab hal tersebut adalah meniru apa yang baik yang telah mereka lakukan dan tak pernah terpikirkan oleh kita yang sibuk permasalahan intrik di internal organisasi.

Kamis, 27 Agustus 2009

Status quo dimakan Rayap

Pro status quo yang hanya bersandar pada kenangan kejayaan masa lalu dan tak pernah memahami kenapa kelompoknya bisa menjadi pemegang status tersebut dan ia menjadi bagian dari itu, akan tergerus dengan arus perubahan yang menuntut perubahan dari waktu ke waktu. Kemapanan memang manis tapi juga melenakan, di sepanjang proses kehidupan kita kemapanan bukanlah tujuan akhir, ia adalah satu titik yang harus segera ditinggalkan setelah kita capai, seperti menuruni puncak gunung setelah bersusah payah mendakinya. Pemandangan yang ditawarkan dari puncak memang sungguh indah, namun berlama-lama diatasnya hanya akan melahirkan jiwa-jiwa yang malas dan miskin inovasi, kebosanan jiwa bagi petualang sejati yang rindu tantangan berikutnya. Maka ia harus turun dan mendaki lagi lalu turun lagi dan mendaki lagi begitulah hidup yang sebenarnya, atau kita hanya memandangi hidup saja tidak didalamnya.
Kekalahan status quo dalam mempertahankan statusnya harus dirayakan bukan hanya oleh mereka yang menjadi pesaingnya, tapi juga oleh mereka yang menjadi bagian dari kelompok pemegang status quo tersebut yang menginginkan pembaruan. Situasi seperti ini merupakan pemecah kebuntuan bagi status quo yang sudah gemuk dan susah bergerak, penyemangat bagi struktur tubuhnya yang sudah renta. Kondisi dan situasi seperti ini merupakan lahan subur bagi tumbuhnya kader-kader yang militan, rajin dan tangguh menggantikan mereka yang selama ini terlena, malas, dan disorientasi. Mereka yang anti kemapanan dan progresif pasti mensyukuri keadaan ini, karena untuk membuka lahan, pohon dan tanaman lama mesti dibakar musnahkan untuk memberi ruang bagi tumbuhnya benih baru yang tidak tertutupi bayang-bayang pohon besar, dan ia mendapat sendiri sinar mataharinya.

Senin, 06 Juli 2009

(mahasiswa) Kelas Pecundang

Sudah saatnya sekarang dipertanyakan lagi, benarkah mahasiswa adalah agen perubahan. Karena memang menurut hukum alam tidak ada yang abadi, begitu juga status yang telah dengan bangganya dibebankan ke salah satu kelompok sosial tersebut setelah sekian lama. Kecendrungan ini bukannya tanpa alasan, karena kekuatan mahasiswa dahulu pernah tidak ada, dan kemungkinan untuk kembali kepada itu cukup besar dan semangat zaman mendukung ke arah itu.

Mahasiswa pada tataran teoritisnya masuk dalam kekuatan sosial dikarenakan akses mereka kepada pengetahuan dan informasi diatas rata-rata masyarakat awam. Mereka menjadi sebuah gerakan pentransformasi nilai-nilai baru dalam bentuk apapun yang dianggap mampu merubah keadaan bangsanya baik sosial, budaya, sains bahkan politik.
Kekritisan mahasiswa merupakan efek langsung dari apa yang mereka pelajari dikampus dan kesadaran posisi sosial mereka. Mahasiswa selalu diidentikkan dengan gagasan-gagasan baru yang dianggap aneh para orang-orang tua, dianggap pembangkang karena menerapkan nilai baru, namun semua maklum karena mau tidak mau yang muda bakal menggantikan yang tua. Karena itu para calon sarjana itu di sebut agen perubahan, yang pada masanya nanti, saat generasi mereka yang berkarya di dunia ini nilai-nilai itu akan di praktikkan.

Dan itu seakan-akan menjadi warisan sejarah kepada setiap diri mahasiswa, sampai sekarang dengan segala distorsi yang terjadi. Begitu banyak contoh kekuatan mahasiswa mengambil peranan dalam perubahan di suatu negeri, revolusi Rusia, revolusi Cina, Iran, Perancis dan revolusi kemerdekaan Indonesia adalah contoh dimana kekuatan mahasiswa berperan besar, juga dalam beberapa gerakan-gerakan dimana seorang tiran dijatuhkan, seperti di Perancis, Indonesia, Filipina dan banyak lagi di seluruh dunia. Ini semua dijadikan referensi bagi mahasiswa selanjutnya untuk tetap berada pada garis perubahan.

Namun masihkah relevan pada masa sekarang ini disebut mahasiswa adalah agen perubahan??
Kita review kembali sebentar kemasa beberapa puluh tahun yang lalu, pada masa revolusioner di Rusia atau masa-masa mahasiswa paris dibakar api revolusi pada pertengahan 1968 bisa juga ke Indonesia sepanjang perjuangan kemerdekaannya sampai era reformasi 1998. Mahasiswa kalau dilihat dari asal usulnya sebagian besar berasal dari keluarga menengah keatas, anak-anak yang tidak disuruh bekerja walaupun sudah dewasa namun menuntut ilmu yang lebih tinggi lagi, sungguh sebuah kesempatan yang tidak didapatkan kawan mereka yang kurang beruntung. Sehingga kecendrungannya pada waktu itu terjadi kesenjangan pengetahuan pada para mahasiswa dengan masyarakat awam. Mahasiswa secara langsung dapat merespon kebijakan pemerintah misalnya, apakah itu sesuai atau tidak dengan kepentingan umum yang mereka nilai dengan apa yang mereka dapatkan dikampus, tentu masyarakat awam akan lebih lamban dalam hal ini dengan segala keterbatasannya, dan karena itu mahasiswa yang telah dikirim untuk menuntut ilmu itu mempunyai tanggungjawab lagi untuk mentransformasikan ilmu ke masyarakatnya. Kecendrungan seperti itu pada masa-masa tersebut membuat mahasiswa yang tersadarkan dibangku kuliahnya lebih kritis dan agresif dengan segala fasilitas yang mereka miliki sebagai mahasiswa dan kelas menengah, mereka selalu menjadi pelopor dalam pemberontakan-pemberontakan, debat-debat publik, garda terdepan dalam demonstrasi menentang pemerintah, dan aktivitas politik lainnya. Walaupun dalam beberapa kasus terjadi dilema atau bisa juga dikatakan ironi, seperti di paris 1968 ketika mahasiswa yang kelas menengah harus berhadap-hadapan dengan polisi yang notabene adalah anak-anak petani yang mereka bela, kekacauan sistem yang nyata.

Jika dilihat dari teori kelas, mahasiswa memang sulit untuk dikatakan menduduki kelas tertentu, tidak memiliki basis ekonomi, produk dari masyarakat sebelumnya dan tergantung, ini menjadi kelemahan mereka untuk berada pada elemen penting revolusi, namun dalam sejarahnya ketidakjelasan status inilah yang merevolusionerkan diri mereka masing-masing. Mereka muda dan tidak punya tanggungjawab besar (dalam artian keluarga-anak-istri), mereka punya akses lebih (kelas menengah), mereka bukanlah orang mapan secara langsung (kepemilikan orangtua, sehingga mereka tidak takut kehilangan harta benda dan memulai dari nol), inilah beberapa faktor pendukung mereka terjun sebagai garda terdepan perubahan dan mereka percaya itu sepenuh hati.

Bagaimana dengan masa sekarang? Kelihatannya kesenjangan informasi dan pengetahuan itu semakin tipis saja. Informasi kini bisa diakses siapa saja, pengetahuan juga begitu, respon masyarakat tidak perlu menunggu lama dan tidak perlu disuarakan mahasiswa terlebih dahulu. Didukung dengan suasana demokratisasi, semua kelompok masyarakat tanpa pandang bulu dapat menggelar aksi-aksinya dan lama-kelamaan malah semakin terorganisir saja tanpa bantuan “orang luar”. Belum dapat diketahui apakah masing-masing kelompok menyadari fenomena ini (mahasiswa dan berbagai elemen didalam masyarakat). Mahasiswa semakin terpinggirkan dalam konstalasi pergerakan sosial, dan politik. Setiap elemen mampu bergerak mandiri. Hmm bukankah ini seperti analisa marx, yang tidak menempatkan mahasiswa dalam elemen revolusi karena mereka adalah bagian dari borjuis. Bahkan sekarang semakin memperjelas statusnya sebagai borjuis kecil, dengan segala tingkah lakunya, mereka adalah komoditi pasar sekaligus pangsa pasar ekslusif dan potensial bagi produk-produk mobil,sepeda motor, HP, fashion, kosmetik, memanfaatkan status dan gaya hidup jiwa muda mereka yang telah diredam, dikendalikan tanpa mereka sadar melalui majalah, tv, radio dan musik-pop sampah. Kampus kini lebih banyak dijadikan sebagai lahan promosi produk terbaru, pagelaran musik dan festival olahraga yang disponsori produk tertentu, iklim yang sangat tidak menarik dan mematikan keintelektualan serta kekritisan apalagi revolusioner..hmmmm...
Sementara itu para aktivis organisasi mahasiswa ada yang sibuk ‘meniti karir’ untuk masa depannya, ada juga yang hanya ikut arus tanpa mengerti apa yang dia lakukan sebagai aktivis organisasi, walaupun ada yang serius untuk perubahan namun sayangnya dia terlalu percaya bahwa hanya dia dan organisasinya lah yang mampu membuat perubahan. Ini semakin mempertegas bahwa saat ini mahasiswa (dengan berat hati dan tidak mengurangi hormat saya pada para penggiat mahasiswa) tidak lagi punya kekuatan perubah, dan untuk sementara tidak usah memakai slogan Agent of Change- nya untuk waktu yang tidak ditentukan.

Jumat, 08 Mei 2009

REFORMASI BIROKRASI

CRITICAL REVIEW
ADHITYA FIESTA
060906016
DEPT. ILMU POLITIK
MK : KEKUATAN-KEKUATAN POLITIK INDONESIA


Reformasi birokrasi di Indonesia adalah agenda besar yang belum selesai.Dikatakan demikian karena tujuan reformasi berupa penciptaan tatanan baru dengan tingkat daya kerja yang lebih efektif untuk melaksanakan fungsi pemerintahan belum mencapai kesimpulan yang baik.
Indikasinya ada dua. Pertama, belum sepakatnya pemerintahan tentang struktur organisasi yang tepat dalam konteks model pemerintahan desentralisasi di Indonesia. Pada level pemerintah pusat, belum selesainya peraturan tentang kementerian negara menunjukkan keengganan memiliki struktur organisasi pemerintah yang terkelola secara lebih terkendali.
Kementerian yang berubah dengan latar kepentingan penguasa menunjukkan politik masih menjadi pengaruh signifikan bagi birokrasi. Kebingungan juga terjadi pada level pemerintah daerah, berubahnya pedoman struktur organisasi pemerintah daerah tiga kali, yaitu peraturan tahun 2000, PP 8 Tahun 2003, dan PP 41 Tahun 2007.Hal itu menunjukkan desain struktur organisasi pemerintah daerah masih mengalami transformasi dan penyesuaian bentuk yang berdasar pada pemaknaan desentralisasi di tataran pejabat publik yang juga sering berubah.
Kedua, belum tereksekusinya perubahan nilai dan kultural dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia secara meluas. Indikatornya, masih tingginya tingkat korupsi dan penyalahgunaan wewenang pejabat publik.
Penangkapan para pejabat publik pada level pemerintah pusat dan daerah oleh KPK menunjukkan secara nilai dan kultural, birokrasi masih diterjemahkan sebagai instrumen kekuasaan yang memiliki kemanfaatan politik. Jabatan dianggap memiliki posisi tawar yang kuat dan memberikan keuntungan pribadi apabila dikelola menurut kepentingan pejabat itu sendiri. Pada aspek yang pragmatis, birokrasi masih menunjukkan watak yang lama.
Apa yang sebenarnya menjadikan agenda reformasi birokrasi berjalan lambat dan ragu-ragu?. Menjawab pertanyaan tersebut, perlu merujuk latar belakang reformasi di negara ini. Kita bisa menyimpulkan reformasi di negara ini dihasilkan dari sebuah konflik. Sebagai hasil dari konflik yang ditandai bergantinya rezim, perubahan dalam perangkat kebijakan dasar dan arus kepentingan baru yang sangat besar.
Perubahan dalam masa tersebut kemudian menghasilkan bentukan cara pemerintahan model transformatif yang diwarnai dengan dinamika dan fluktuasi sosial politik yang sangat tinggi. Banyaknya kepentingan baru yang muncul dalam masa transformasi memberikan implikasi terhadap daya dukung energi yang tidak memadai untuk mendukung semua aspek perubahan. Sebagai hasil dari perubahan yang tidak menyeluruh pada beberapa aspek bernegara adalah tidak selesainya seluruh perubahan pada tiap aspek.
Bisa disadari jika demokratisasi sebagai hasil reformasi adalah wujud ekspektasi yang besar terhadap kondisi baru. Namun, saya justru melihat adanya hubungan erat antara demokratisasi dengan implementasi reformasi birokrasi yang terjadi dalam reformasi 1998 hingga sekarang.
Seperti yang telah dijelaskan, reformasi birokrasi merupakan salah satu pekerjaan yang dilaksanakan penguasa dengan tidak menyeluruh. Reformasi birokrasi dilakukan sebagai sebuah pilihan di antara beberapa lingkup reformasi lain. Sebab itu, bisa dipahami jika perubahan yang terjadi cenderung lambat dan ragu-ragu. Demokratisasi yang terjadi tidak serta-merta memberikan pengaruh positif yang kuat bagi terlaksananya reformasi birokrasi.
Secara konseptual, hubungan antara demokratisasi dan reformasi birokrasi mengalami perdebatan yang hebat. Demokratisasi dan reformasi birokrasi di Indonesia memiliki hubungan yang bipolar. Pada satu kutub, hubungan keduanya bisa positif, sedangkan pada kutub yang lain hubungan keduanya bisa negatif. Hubungan di antara keduanya bisa positif apabila demokratisasi bisa mendukung terjadinya reformasi birokrasi, sementara itu hubungan keduanya bisa negatif apabila demokratisasi justru mengganggu reformas birokrasi.
Demokratisasi bisa mendukung terjadinya reformasi birokrasi itu terjadi dalam tiga konteks, yaitu pertama, sebagai latar momentum. Reformasi birokrasi membutuhkan prasyarat adanya momentum perubahan. Tidak semua perubahan akan memberikan jalan bagi reformasi birokrasi, perubahan yang didasari atas demokratisasi sajalah yang memberikan peluang adanya reformasi ini.
Kedua, sebagai medium stumulasi. Dalam hal ini, demokratisasi memberikan jalan bagi prioritas reformasi bikrokrasi. Demokratisasi melihat reformasi birokrasi sebagai bangunan sistem yang memberikan banyak pengaruh bagi penerjemahan semangat demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang hadir tidak berkembang secara egois dengan menonjolkan persoalan representativitas kepentingan semata.
Ketiga, sebagai sebuah nilai yang hendak diwujudkan. Perubahan yang dihasilkan dari demokratisasi dan terlaksana dalam ruang demokratisasi memiliki potensi memunculkan semangat baru yang dihasilkan dari reformasi birokrasi tersebut. Sebagai sebuah perubahan, reformasi biorkrasi memiliki keniscyaan untuk memilih model baru yang hendak digunakan dan dengan akomodasi serta dorongan demokratisasi yang tepat dan secara baik, model birokrasi yang berubah tadi juga akan memilih demokrasi sebagai rujukannya.
Kutub yang kedua, yaitu hubungan negatif dimana demokratisasi justru mengganggu reformasi birokrasi terjadi dalam wujud yang berlawanan dengan kutub yang pertama. Dalam kutub kedua ini, demokratisasi dan reformasi birokrasi berjalan tidak seiring, sehingga masing-masing akan mencari bentukan perubahan yang tidak teratur dan terkelola secara substanstif. Demokrasi menjelma dalam bentuk prosedural dan ingar-bingar yang menyerap terlalu banyak energi, sedangkan reformasi birokrasi tidak memperoleh dukungan kuat untuk menjadi sebuah agenda besar yang terlaksana secara konsisten, menyeluruh, dan tegas.
Meskipun demokratisasi telah memiliki tempat, tidak menjelma menjadi medium stimulasi yang memberikan ruang bagi hadirnya nilai-nilai baru bagi reformasi birokrasi itu sendiri. Dengan melihat pemetaan ini, bisa dikatakan kondisi di Indonesia adalah pada kutub yang kedua.


Lantas apa yang harus dilakukan? Benang merah dari hal ini pada ketidaktepatan memperlakukan demokratisasi dan reformasi birokrasi. Sebab itu, yang perlu dilihat adalah demokratisasi dan reformasi birokrasi memiliki potensi untuk saling memperkuat apabila dilaksanakan dengan manajemen yang baik pada masing-masingnya.
Demokratisasi memerlukan manajemen demokrasi agar tidak terlalu ingar-bingar dan menghabiskan energi untuk hal yang kurang substantif, sementara itu reformasi birokrasi juga memerlukan manajemen perubahan yang baik sehingga cakupan, arah dan skema yang menuju kepada pencapaian nilai baru dapat terjaga secara konsisten. Selain itu, yang perlu diwujudkan adalah manajemen rangkaian (continuum management) yang menghubungkan secara tepat hubungan dia ntara keduanya. Manajemen ini berfungsi menyeimbangkan dan mengarahkan kedua aspek tersebut secara tepat.

Senin, 04 Mei 2009

ESAI Tentang ELIT POLITIK DI INDONESIA

Sejarah politik di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai sekarang adalah sejarah pertarungan Elit politik. Mereka adalah orang-orang terpelajar pada masa penjajahan, anak-anak ningrat yang bersekolah dengan kurikulum belanda. Alumni-alumni itulah yang menggerakkan roda politik di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan sampai pada terbitnya Orde Baru. Pada masa kolonial, pemain dominan dalam kancah politik tentunya adalah belanda, elit politik yang berkuasa dipimpin oleh gubernur jendral yang dimandatkan oleh kerajaan belanda untuk memerintah di Hindia Belanda (Indonesia), pribumi yang terpelajar difungsikan sebagai birokrasi pengatur administrasi pemerintahan belanda, sedangkan keturunan cina dan arab merupakan elit lain dalam bidang ekonomi.
Menjelang kemerdekaan, didukung semakin banyaknya pribumi yang terpelajar dan matang oraganisasi massa berkembang pesat, dan partai-partai politik menyusul setelah itu. Pribumi yang terpelajar ini mengkampanyekan tentang kemerdekaan Indonesia, walaupun dengan metode perjuangan yang berbeda-beda. Dinamika terus berlanjut dalam perjalanan kemerdekaan Indonesia sampai saat di proklamirkannya kemederkaan Indonesia oleh pejuang-pejuang kemerdekaan yang merupakan elit pemuda Indonesia, kenpa saya bilang begitu, karena Sukarno, Hatta selama ini sebelum kemerdekaan adalah contoh pribumi yang dekat dengan penjajah (bukan dalam artian negatif), mereka adalah pemimpin pemuda yang sering diminta datang dalam pembicaraan dengan peguasa penjajah belanda maupun jepang. Dalam teori elit Pareto dan mosca, Sukarno dan Hatta sangat tepat dikatakan elit pada waktu itu.
Dalam perjalanan pasca kemerdekaan semakin banyak tercipta kelompok-kelompok elit di Indonesia, didukung oleh berkembangnya paham-paham politik yang berusaha menanamkan pengaruhnya di republik yang baru saja merdeka ini. Elit partai-partai seperti PKI, Masyumi, PNI adalah yang banyak mewarnai dinamika politik di Indonesia. Selanjutnya dengan berkembangnya angkatan bersenjata Indonesia, tumbuh pula jendral-jendral yang segera menjadi elit politik yang mempunyai kekuatan bersenjata. Puncak dari pertarungan elit-elit tersebut adalah kejadian 30 september 1965.
Setelah berkuasanya rejim militer Suharto dukungan amerika serikat, kelompok-kelompok elit yang berseberangan dengannya tidak dibiarkan berkembang, bahkan kalau perlu dihabisi. Walaupun tetap ada yang menyimpan kekuatan dibawah tanah. Namun dalam tubuh orde baru sendiri masih terjadi pertarungan elit didalamnya (antar jendral) yang menyebabkan peristiwa MALARI, walaupun tidak sampai membuat rejim itu kolaps. Hingga sampai jatuhnya rejim Suharto pada 1998 tidak merupakan kehendak dari segenap rakyat Indonesia, jatuhnya Suharto adalah katup pengaman dari berlanjutnya kerusuhan yang terjadi dimana-mana akibat provokasi dari Intelijen entah suruhan elit politik yang mana, sengaja untuk menciptakan kondisi seperti itu. Era reformasi yang mengatasnamakan rakyat merupakan pertarungan kembali elit politik lama yang dibungkam oleh Suharto dengan sisa kroni Suharto dan kekuatan baru yang menjunjung reformasi. Sampai sekarang rakyat hanya dijadikan penonton pertarungan elit, kesadaran politik masyarakat yang lemah itu malah dimanfaatkan untuk kelanggengan kekuasaan mereka bukannnya ditingkatkan. Pendidikan merupakan jalan satu-satunya untuk dapat merubah paradigma masyarakat memandang politik, atau pemimpin yang berdedikasi tinggi untuk kemajuan bangsa dan negara yang seperti tidak punya masa depan ini. Tapi bagaimana caranya?