Selasa, 24 November 2009

training of trainer

Review Kegiatan
Training of Trainer, Fasilitator pendidikan Politik. Bakumsu.
Mess Cinta Alam, 5-7 Agustus 2009
Oleh: Foo*

Bentuk kegiatan
Bentuk kegiatan yang didapat dalam training ini terdiri dari Pemberian materi dan tanya jawab dalam ruangan, Nonton Film dan mendiskusikannya yang dilakukan setiap malam, games disetiap kesempatan jeda yang ada, Studi kasus dan Diskusi kelompok, Role Play (bermain peran) dan simulasi.

Materi-materi
Materi dalam ruangan pertama yang diberikan adalah Hak Asasi manusia dan Demokrasi pada tanggal 5 agustus 2009, alasan pemberian materi ini didasarkan pada paradigma fasilitator pendidikan politik yaitu Bakumsu yang menganggap seorang fasilitator politik harus berbasiskan pada nilai-nilai HAM dan Demokrasi. Pemateri dalam tema ini adalah Pdt. Immanuel Ginting, secara garis besar dia menjelaskan posisi HAM dan berseberangannya dengan konsep globalisasi sebagai buah kapitalisme. HAM yang menjamin kebutuhan dasar manusia seperti akses pada Air, Tanah, dan sumber kehidupan lain serta pendukungnya seperti pendidikan bertentangan dengan pandangan paradigma Kapitalisme yang memahami kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan Ekonomis, dimana kebutuhan Ekonomis adalah suatu kebutuhan yang dapat dipenuhi hanya dengan melalui transaksi pasar (jual-beli). Singkatnya bila perspektif HAM melihat kebutuhan-kebutuhan tersebut sebagai kebutuhan dasar manusia yang wajib dipenuhi oleh Negara yang bertanggung jawab kepada warganya, perspektif Ekonomi pasar melihatnya sebagai komoditi pasar yang bernilai tinggi karena dibutuhkan oleh banyak orang. Mengenai tema Demokrasi, seperti yang sudah banyak dibahas tentang tema tersebut, pembahasan tema ini hanya pengulangan-pengulangan saja yang mengingatkan kita bahwa inti dari demokrasi adalah Kedaulatan Rakyat, dalam pembahasan disinggung juga tentang realitas demokrasi di indonesia, maka terjadilah diskusi kecil tentang demokrasi Substansial dan Demokrasi Prosedural Formal. Realitanya di Indonesia yang terjadi adalah Demokrasi Prosedural Formal melalui pemilu-pemilu dan Pilkada, terpilihnya perwakilan rakyat yang duduk di DPR dan DPRD dianggap sebuah representasi dari demokrasi seutuhnya, tanpa melihat gejala distorsi yang terjadi pada proses pemilu-pemilu tersebut dimana Suara dikonversi menjadi uang atau Uang dikonversi menjadi Suara, belum lagi kecurangan-kecurangan administratif yang terjadi pra dan pasca pemilu hingga terpilihnya perwakilan rakyat yang duduk dikursi dewan perwakilan. Tentu itu bukan demokrasi yang diharapkan untuk merubah keterpurukan bangsa ini, demokrasi substansial yang terwujud dari adanya mekanisme kontrol rakyat terhadap wakilnya belum terlaksana di republik ini. Begitu juga tentang demokrasi di bidang ekonomi, masih jauh dari mimpi kesejahteraan rakyat. Demokrasi prosedural dibidang politik dan persaingan bebas di bidang ekonomi dimana modal paling kuat yang bersuara paling lantang dan bukan kebutuhan mayoritas penduduk miskin.

Materi kedua yang diberikan pada hari kedua di pagi hari adalah Komunikasi Politik. Pemberian materi ini dianggap penting dan relevan dengan tugas dan tanggung jawab seorang fasilitator pendidikan politik. Komunikasi politik yang saya pahami dari pemaparan pemateri dalam training ini adalah cara atau usaha penyampaian ide dengan maksud/tujuan mempengaruhi orang luas untuk menerima ide tersebut.
Apabila politik diartikan sebagai; siapa mendapatkan apa, kapan dan bagamana. Maka Komunikasi Politik adalah siapa mengatakan apa, untuk siapa, melalui media apa, dan bagaimana pengaruhnya. Materi komunikasi politik ini penting dengan sendirinya karena pretensi ada pertarungan ditingkat ide, dan dibutuhkan strategi dan taktik agar ide kita yang menang serta dapat dijalankan ditingkat praksis dan bermanfaat bagi lapisan yang lebih luas yaitu masyarakat secara umum. Materi ini kemudian dilanjutkan dengan materi Analisa Politik.

Materi Analisa Politik merupakan materi teoritis yang ketiga yang diberikan didalam ruangan pada hari kedua sekitar puku 10.30 Wib. dari pemaparan pemateri yang bekerja secara tim, saya dapat mengatakan bahwa analisa politik yang dimaksudkan oleh fasilitator training ini adalah analisa politik yang bersifat praktis, seperti bagaimana memenangkan suara dalam pilkada. Seperti misalnya dalam sebuah wacana yang dilemparkan oleh pemateri tentang partisipasi politik seperti apa yang dapat dilakukan pada tingkat sebuah desa. Pada awal pemahaman saya, saya mengira arahan dari wacana ini adalah kontrol masyarakat terhadap kinerja aparatur pemerintahan desa, namun setelah pemateri melanjutkan pembahasan ternyata yang dimaksud adalah bagaimana mengambil alih posisi/jabatan strategis seperti sekretris desa, kepala desa dan badan perwakilan desa untuk tujuan yang tentu saja pragmatis demi lancarnya seluruh kebijakan yang pro terhadap rakyat. Partisipasi politik masyarakat desa diharapkan terwujud dengan pembentukan kelompok dan pertukaran suara mereka menjadi jabatan. Berikut beberapa catatan mengena materi ini,
Pendekatan analisa politik ada tiga jenis:
1. Pendekatan Aktor
2. Pendekatan Kelembagaan
3. pendekatan Budaya
Langkah-langkah Analisa Politik:
1. Identifikasi Masalah
2. Buat Pertanyaan; 5w 1h
3. Mempelajari/membandingkan masalah di tempat lain
4. Membuat penafsiran dan penjelasan
Dimensi Analisa Politik
1. nilai- nilai (ideologi)
2. Struktur Kekuasaan
3. Budaya
4. Partisipasi
5. Perubahan- perubahan yang ada
Kata kunci dari analisa politik adalah Kuasai informasi (bahan keterangan)

Setelah pemaparan materi Analisa Politik secara teoritis diadakan diskusi kelompok, kelas dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing berjumlah 5 orang untuk menganalisis sebuah isu dan dicari akar masalahnya dan akibat akhirnya serta kaitannya dengan politik. Contohnya adalah masalah kelangkaan pupuk bagi petani, persoalan ini dibahas dimulai dari penyebab terjadinya kelangkaan pupuk tersebut hingga dampak yang diakibatkannya.

Materi selanjutnya yang diberikan pada hari kedua adalah Dasar-dasar Fasilitator.
Dari judulnya tentu saja materi ini sudah dapat ditebak isinya, dalam materi ini pemateri menjelaskan apakah fasilitator itu dan bagaimana fasilitator itu bekerja. Fasilitator pada dasarnya adalah untuk mempermudah, mempermudah materi dan memperjelasnya, pada hari terakhir acara, peserta ditugaskan menjadi fasilitator dalam tim yang terdiri dari dua orang, tiap tim pada hari sebelumnya mendiskusikan jenis fasilitasi apa yag akan dilakukan keesokan harinya dan tema apa yang diangkat, simulasi fasilitator ini adalah akhir dari kegiatan pada Training ini.mengenai tips dan bagaimana memfasilitasi yang baik dapat dilihat pada file softcopy presentasi materi tersebut yang dibagikan pada peserta.

Film yag ditonton dan didiskusikan adalah:

1. Che Guevara, yang menceritakan keheroikan perjuangan revolusi kuba oleh Ernesto guevara
2. Thank you for Smoking, yang menceritakan seorang Lobbyist perusahaan tembakau yang gigih memperjuangkan kampanyenya bahwa merokok tidak berbahaya.

Refleksi
Setelah mengikuti kegiatan ini peserta yang merupakan kelas dasar dalam Training ini berhak dan akan diundang kembali dalam training yang sama dalam kelas lanjutan. Peserta dalam kelas training yang lalu telah berkomitmen untuk membangun relasi dan kesatuan untuk masing-masing dapat memberi kontribusi pada wilayah binaan diluar wilayahnya sendiri. Peserta dapat berkontribusi pada organisasinya dan binaannya masing-masing.

*foo: adalah peserta training yang diutus mewakili SPI sumut bersama Nurhidayat mahasiswa ilmu politik angkatan 2005.

Selasa, 15 September 2009

seminar sehari di FP USU

Beberapa waktu lalu saya mengikuti seminar yang bertema kedaulatan pangan yang berhasil di wujudkan di Indonesia pada tahun 2008 kemaren. Acara tersebut dilaksanakan di fakultas pertanian universitas sumatera utara. Penyelenggara kegiatan tersebut secara resmi adalah PEMA USU, ini kalau dilihat dari undangan yang saya terima, disitu tertera penyelenggara dan stempel instansi yang mengundang.
Namun setelah beberapa saat saya berada dalam ruangan seminar di Fakultas ekonomi tersebut saya menyadari ada benang merah antara elemen-elemen yang terlibat dalam acara tersebut. Instansi pertama adalah penyelenggara; PEMA USU yang presidennya merupakan kader dari KAMMI, lalu ada instansi yang tidak tersebut di undangan namun ternyata berperan juga dalam acara tersubut yaitu PPNSI, berikutnya adalah tamu undangan yang dijadwalkan membuka acara namun ternyata terlambat tapi masih diberi juga kesempatan untuk akhirnya menutup acara yaitu wakil gubernur Sumatera Utara Gatot pujonugroho. Dan instansi terakhir yang saya pikir punya benang merah dengan instansi lainnya adalah menteri pertanian yang kehadirannya diwakili oleh sekretaris kementrian tersebut. Sudah bisakah anda melihat keterkaitan yang ada diantara instansi tersebut? KAMMI yang kadernya menguasai PEMA USU merupakan organisasi mahasiswa onderbouw- nya PKS (partai keadilan sejahtera), PPNSI adalah organisasi bentukan kader PKS yang fokus pada petani dan nelayan, tentu untuk memperlebar cakupan afiliasi. Gatot pujonugroho tentu sudah tidak dapat dipisahkan lagi dari bayang-bayang partainya, dan kementrian pertanian RI yang menterinya Anton Apriantono merupakan kader dari partai Islam yang mengaku modern tersebut. Rapi sekali bukan sinergi antara mereka membuat sebuah acara yang membahas topik pertanian, yang strategis secara politis dan dilaksanakan secara terbuka di wilayah kampus?

Sebenarnya saya tidak mempersoalkan agenda apapun yang tersembunyi dari acara tersebut, bahkan saya sangat kagum kepada para kader partai tersebut yang mampu mengkombinasikan secara efisien institusi-institusi yang mereka kuasai. Bagi orang yang tidak jeli melihat fenomena itu maka acara seminar tersebut pasti terkesan seperti seminar seperti biasanya, karena yang institusi yang terkait memang berperan sesuai dengan wilayah kerjanya. PEMA USU sebagai panitia lapangan yang mengorganisir acara, PPNSI sebagai stake holder, Kementrian Pertanian sebagai Narasumber objek, dan Pemprovsu sebagai tamu kehormatan. Apakah peran fakultas pertanian disini? Tentu agar tidak terlihat ganjil dan acara berjalan dengan lancar pihak dekanat dilibatkan sebagai salah satu pembicara di seminar itu, yang anehnya hanya itulah yang terlihat dari perannya dalam acara tersebut, karena acara tersebut telah dipersiapkan secara matang teknis dan materil pendanaannya tanpa bantuan dekanat pertanian. Tidak heran tentunya dari mana panitia mendapatkan pendanaan itu.

Kalau dari isu politis yang dapat dimanfaatkan dari acara tersebut saya menangkap ada beberapa point yang bisa dijadikan bahan opini, pertama keberhasilan swasembada beras tahun 2008 yang diklaim oleh PKS adalah buah pikiran kadernya Anton Apriantono, lalu bisa saja acara tersebut merupakan manuver politik Gatot untuk lebih populis dibanding gubernurnya, hubungan kerja mereka berdua akhir-akhir ini diakabarkan kurang harmonis layaknya fenomena SBY-JK, hal ini tentu sah-sah saj dilakukan gatot. Acara seperti ini juga bisa memperkuat konsolidasi antar lembaga yang memiliki benang merah tersebut maupun anggota masing-masing lembaga tersebut. Terakhir mungkin adalah semakin intensnya kegiatan yang mereka laksanakan dikampus yang berimplikasi semakin akrabnya dunia akademis yang seksi ini pada partai tersebut.
Ini merupakan kerja-kerja dari agenda kampanye politik yang cerdas dilaksanakan oleh partai keadilan sejahtera, dan reaksi yang tepat untuk menjawab hal tersebut adalah meniru apa yang baik yang telah mereka lakukan dan tak pernah terpikirkan oleh kita yang sibuk permasalahan intrik di internal organisasi.

Kamis, 27 Agustus 2009

Status quo dimakan Rayap

Pro status quo yang hanya bersandar pada kenangan kejayaan masa lalu dan tak pernah memahami kenapa kelompoknya bisa menjadi pemegang status tersebut dan ia menjadi bagian dari itu, akan tergerus dengan arus perubahan yang menuntut perubahan dari waktu ke waktu. Kemapanan memang manis tapi juga melenakan, di sepanjang proses kehidupan kita kemapanan bukanlah tujuan akhir, ia adalah satu titik yang harus segera ditinggalkan setelah kita capai, seperti menuruni puncak gunung setelah bersusah payah mendakinya. Pemandangan yang ditawarkan dari puncak memang sungguh indah, namun berlama-lama diatasnya hanya akan melahirkan jiwa-jiwa yang malas dan miskin inovasi, kebosanan jiwa bagi petualang sejati yang rindu tantangan berikutnya. Maka ia harus turun dan mendaki lagi lalu turun lagi dan mendaki lagi begitulah hidup yang sebenarnya, atau kita hanya memandangi hidup saja tidak didalamnya.
Kekalahan status quo dalam mempertahankan statusnya harus dirayakan bukan hanya oleh mereka yang menjadi pesaingnya, tapi juga oleh mereka yang menjadi bagian dari kelompok pemegang status quo tersebut yang menginginkan pembaruan. Situasi seperti ini merupakan pemecah kebuntuan bagi status quo yang sudah gemuk dan susah bergerak, penyemangat bagi struktur tubuhnya yang sudah renta. Kondisi dan situasi seperti ini merupakan lahan subur bagi tumbuhnya kader-kader yang militan, rajin dan tangguh menggantikan mereka yang selama ini terlena, malas, dan disorientasi. Mereka yang anti kemapanan dan progresif pasti mensyukuri keadaan ini, karena untuk membuka lahan, pohon dan tanaman lama mesti dibakar musnahkan untuk memberi ruang bagi tumbuhnya benih baru yang tidak tertutupi bayang-bayang pohon besar, dan ia mendapat sendiri sinar mataharinya.

Senin, 06 Juli 2009

(mahasiswa) Kelas Pecundang

Sudah saatnya sekarang dipertanyakan lagi, benarkah mahasiswa adalah agen perubahan. Karena memang menurut hukum alam tidak ada yang abadi, begitu juga status yang telah dengan bangganya dibebankan ke salah satu kelompok sosial tersebut setelah sekian lama. Kecendrungan ini bukannya tanpa alasan, karena kekuatan mahasiswa dahulu pernah tidak ada, dan kemungkinan untuk kembali kepada itu cukup besar dan semangat zaman mendukung ke arah itu.

Mahasiswa pada tataran teoritisnya masuk dalam kekuatan sosial dikarenakan akses mereka kepada pengetahuan dan informasi diatas rata-rata masyarakat awam. Mereka menjadi sebuah gerakan pentransformasi nilai-nilai baru dalam bentuk apapun yang dianggap mampu merubah keadaan bangsanya baik sosial, budaya, sains bahkan politik.
Kekritisan mahasiswa merupakan efek langsung dari apa yang mereka pelajari dikampus dan kesadaran posisi sosial mereka. Mahasiswa selalu diidentikkan dengan gagasan-gagasan baru yang dianggap aneh para orang-orang tua, dianggap pembangkang karena menerapkan nilai baru, namun semua maklum karena mau tidak mau yang muda bakal menggantikan yang tua. Karena itu para calon sarjana itu di sebut agen perubahan, yang pada masanya nanti, saat generasi mereka yang berkarya di dunia ini nilai-nilai itu akan di praktikkan.

Dan itu seakan-akan menjadi warisan sejarah kepada setiap diri mahasiswa, sampai sekarang dengan segala distorsi yang terjadi. Begitu banyak contoh kekuatan mahasiswa mengambil peranan dalam perubahan di suatu negeri, revolusi Rusia, revolusi Cina, Iran, Perancis dan revolusi kemerdekaan Indonesia adalah contoh dimana kekuatan mahasiswa berperan besar, juga dalam beberapa gerakan-gerakan dimana seorang tiran dijatuhkan, seperti di Perancis, Indonesia, Filipina dan banyak lagi di seluruh dunia. Ini semua dijadikan referensi bagi mahasiswa selanjutnya untuk tetap berada pada garis perubahan.

Namun masihkah relevan pada masa sekarang ini disebut mahasiswa adalah agen perubahan??
Kita review kembali sebentar kemasa beberapa puluh tahun yang lalu, pada masa revolusioner di Rusia atau masa-masa mahasiswa paris dibakar api revolusi pada pertengahan 1968 bisa juga ke Indonesia sepanjang perjuangan kemerdekaannya sampai era reformasi 1998. Mahasiswa kalau dilihat dari asal usulnya sebagian besar berasal dari keluarga menengah keatas, anak-anak yang tidak disuruh bekerja walaupun sudah dewasa namun menuntut ilmu yang lebih tinggi lagi, sungguh sebuah kesempatan yang tidak didapatkan kawan mereka yang kurang beruntung. Sehingga kecendrungannya pada waktu itu terjadi kesenjangan pengetahuan pada para mahasiswa dengan masyarakat awam. Mahasiswa secara langsung dapat merespon kebijakan pemerintah misalnya, apakah itu sesuai atau tidak dengan kepentingan umum yang mereka nilai dengan apa yang mereka dapatkan dikampus, tentu masyarakat awam akan lebih lamban dalam hal ini dengan segala keterbatasannya, dan karena itu mahasiswa yang telah dikirim untuk menuntut ilmu itu mempunyai tanggungjawab lagi untuk mentransformasikan ilmu ke masyarakatnya. Kecendrungan seperti itu pada masa-masa tersebut membuat mahasiswa yang tersadarkan dibangku kuliahnya lebih kritis dan agresif dengan segala fasilitas yang mereka miliki sebagai mahasiswa dan kelas menengah, mereka selalu menjadi pelopor dalam pemberontakan-pemberontakan, debat-debat publik, garda terdepan dalam demonstrasi menentang pemerintah, dan aktivitas politik lainnya. Walaupun dalam beberapa kasus terjadi dilema atau bisa juga dikatakan ironi, seperti di paris 1968 ketika mahasiswa yang kelas menengah harus berhadap-hadapan dengan polisi yang notabene adalah anak-anak petani yang mereka bela, kekacauan sistem yang nyata.

Jika dilihat dari teori kelas, mahasiswa memang sulit untuk dikatakan menduduki kelas tertentu, tidak memiliki basis ekonomi, produk dari masyarakat sebelumnya dan tergantung, ini menjadi kelemahan mereka untuk berada pada elemen penting revolusi, namun dalam sejarahnya ketidakjelasan status inilah yang merevolusionerkan diri mereka masing-masing. Mereka muda dan tidak punya tanggungjawab besar (dalam artian keluarga-anak-istri), mereka punya akses lebih (kelas menengah), mereka bukanlah orang mapan secara langsung (kepemilikan orangtua, sehingga mereka tidak takut kehilangan harta benda dan memulai dari nol), inilah beberapa faktor pendukung mereka terjun sebagai garda terdepan perubahan dan mereka percaya itu sepenuh hati.

Bagaimana dengan masa sekarang? Kelihatannya kesenjangan informasi dan pengetahuan itu semakin tipis saja. Informasi kini bisa diakses siapa saja, pengetahuan juga begitu, respon masyarakat tidak perlu menunggu lama dan tidak perlu disuarakan mahasiswa terlebih dahulu. Didukung dengan suasana demokratisasi, semua kelompok masyarakat tanpa pandang bulu dapat menggelar aksi-aksinya dan lama-kelamaan malah semakin terorganisir saja tanpa bantuan “orang luar”. Belum dapat diketahui apakah masing-masing kelompok menyadari fenomena ini (mahasiswa dan berbagai elemen didalam masyarakat). Mahasiswa semakin terpinggirkan dalam konstalasi pergerakan sosial, dan politik. Setiap elemen mampu bergerak mandiri. Hmm bukankah ini seperti analisa marx, yang tidak menempatkan mahasiswa dalam elemen revolusi karena mereka adalah bagian dari borjuis. Bahkan sekarang semakin memperjelas statusnya sebagai borjuis kecil, dengan segala tingkah lakunya, mereka adalah komoditi pasar sekaligus pangsa pasar ekslusif dan potensial bagi produk-produk mobil,sepeda motor, HP, fashion, kosmetik, memanfaatkan status dan gaya hidup jiwa muda mereka yang telah diredam, dikendalikan tanpa mereka sadar melalui majalah, tv, radio dan musik-pop sampah. Kampus kini lebih banyak dijadikan sebagai lahan promosi produk terbaru, pagelaran musik dan festival olahraga yang disponsori produk tertentu, iklim yang sangat tidak menarik dan mematikan keintelektualan serta kekritisan apalagi revolusioner..hmmmm...
Sementara itu para aktivis organisasi mahasiswa ada yang sibuk ‘meniti karir’ untuk masa depannya, ada juga yang hanya ikut arus tanpa mengerti apa yang dia lakukan sebagai aktivis organisasi, walaupun ada yang serius untuk perubahan namun sayangnya dia terlalu percaya bahwa hanya dia dan organisasinya lah yang mampu membuat perubahan. Ini semakin mempertegas bahwa saat ini mahasiswa (dengan berat hati dan tidak mengurangi hormat saya pada para penggiat mahasiswa) tidak lagi punya kekuatan perubah, dan untuk sementara tidak usah memakai slogan Agent of Change- nya untuk waktu yang tidak ditentukan.

Jumat, 08 Mei 2009

REFORMASI BIROKRASI

CRITICAL REVIEW
ADHITYA FIESTA
060906016
DEPT. ILMU POLITIK
MK : KEKUATAN-KEKUATAN POLITIK INDONESIA


Reformasi birokrasi di Indonesia adalah agenda besar yang belum selesai.Dikatakan demikian karena tujuan reformasi berupa penciptaan tatanan baru dengan tingkat daya kerja yang lebih efektif untuk melaksanakan fungsi pemerintahan belum mencapai kesimpulan yang baik.
Indikasinya ada dua. Pertama, belum sepakatnya pemerintahan tentang struktur organisasi yang tepat dalam konteks model pemerintahan desentralisasi di Indonesia. Pada level pemerintah pusat, belum selesainya peraturan tentang kementerian negara menunjukkan keengganan memiliki struktur organisasi pemerintah yang terkelola secara lebih terkendali.
Kementerian yang berubah dengan latar kepentingan penguasa menunjukkan politik masih menjadi pengaruh signifikan bagi birokrasi. Kebingungan juga terjadi pada level pemerintah daerah, berubahnya pedoman struktur organisasi pemerintah daerah tiga kali, yaitu peraturan tahun 2000, PP 8 Tahun 2003, dan PP 41 Tahun 2007.Hal itu menunjukkan desain struktur organisasi pemerintah daerah masih mengalami transformasi dan penyesuaian bentuk yang berdasar pada pemaknaan desentralisasi di tataran pejabat publik yang juga sering berubah.
Kedua, belum tereksekusinya perubahan nilai dan kultural dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia secara meluas. Indikatornya, masih tingginya tingkat korupsi dan penyalahgunaan wewenang pejabat publik.
Penangkapan para pejabat publik pada level pemerintah pusat dan daerah oleh KPK menunjukkan secara nilai dan kultural, birokrasi masih diterjemahkan sebagai instrumen kekuasaan yang memiliki kemanfaatan politik. Jabatan dianggap memiliki posisi tawar yang kuat dan memberikan keuntungan pribadi apabila dikelola menurut kepentingan pejabat itu sendiri. Pada aspek yang pragmatis, birokrasi masih menunjukkan watak yang lama.
Apa yang sebenarnya menjadikan agenda reformasi birokrasi berjalan lambat dan ragu-ragu?. Menjawab pertanyaan tersebut, perlu merujuk latar belakang reformasi di negara ini. Kita bisa menyimpulkan reformasi di negara ini dihasilkan dari sebuah konflik. Sebagai hasil dari konflik yang ditandai bergantinya rezim, perubahan dalam perangkat kebijakan dasar dan arus kepentingan baru yang sangat besar.
Perubahan dalam masa tersebut kemudian menghasilkan bentukan cara pemerintahan model transformatif yang diwarnai dengan dinamika dan fluktuasi sosial politik yang sangat tinggi. Banyaknya kepentingan baru yang muncul dalam masa transformasi memberikan implikasi terhadap daya dukung energi yang tidak memadai untuk mendukung semua aspek perubahan. Sebagai hasil dari perubahan yang tidak menyeluruh pada beberapa aspek bernegara adalah tidak selesainya seluruh perubahan pada tiap aspek.
Bisa disadari jika demokratisasi sebagai hasil reformasi adalah wujud ekspektasi yang besar terhadap kondisi baru. Namun, saya justru melihat adanya hubungan erat antara demokratisasi dengan implementasi reformasi birokrasi yang terjadi dalam reformasi 1998 hingga sekarang.
Seperti yang telah dijelaskan, reformasi birokrasi merupakan salah satu pekerjaan yang dilaksanakan penguasa dengan tidak menyeluruh. Reformasi birokrasi dilakukan sebagai sebuah pilihan di antara beberapa lingkup reformasi lain. Sebab itu, bisa dipahami jika perubahan yang terjadi cenderung lambat dan ragu-ragu. Demokratisasi yang terjadi tidak serta-merta memberikan pengaruh positif yang kuat bagi terlaksananya reformasi birokrasi.
Secara konseptual, hubungan antara demokratisasi dan reformasi birokrasi mengalami perdebatan yang hebat. Demokratisasi dan reformasi birokrasi di Indonesia memiliki hubungan yang bipolar. Pada satu kutub, hubungan keduanya bisa positif, sedangkan pada kutub yang lain hubungan keduanya bisa negatif. Hubungan di antara keduanya bisa positif apabila demokratisasi bisa mendukung terjadinya reformasi birokrasi, sementara itu hubungan keduanya bisa negatif apabila demokratisasi justru mengganggu reformas birokrasi.
Demokratisasi bisa mendukung terjadinya reformasi birokrasi itu terjadi dalam tiga konteks, yaitu pertama, sebagai latar momentum. Reformasi birokrasi membutuhkan prasyarat adanya momentum perubahan. Tidak semua perubahan akan memberikan jalan bagi reformasi birokrasi, perubahan yang didasari atas demokratisasi sajalah yang memberikan peluang adanya reformasi ini.
Kedua, sebagai medium stumulasi. Dalam hal ini, demokratisasi memberikan jalan bagi prioritas reformasi bikrokrasi. Demokratisasi melihat reformasi birokrasi sebagai bangunan sistem yang memberikan banyak pengaruh bagi penerjemahan semangat demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang hadir tidak berkembang secara egois dengan menonjolkan persoalan representativitas kepentingan semata.
Ketiga, sebagai sebuah nilai yang hendak diwujudkan. Perubahan yang dihasilkan dari demokratisasi dan terlaksana dalam ruang demokratisasi memiliki potensi memunculkan semangat baru yang dihasilkan dari reformasi birokrasi tersebut. Sebagai sebuah perubahan, reformasi biorkrasi memiliki keniscyaan untuk memilih model baru yang hendak digunakan dan dengan akomodasi serta dorongan demokratisasi yang tepat dan secara baik, model birokrasi yang berubah tadi juga akan memilih demokrasi sebagai rujukannya.
Kutub yang kedua, yaitu hubungan negatif dimana demokratisasi justru mengganggu reformasi birokrasi terjadi dalam wujud yang berlawanan dengan kutub yang pertama. Dalam kutub kedua ini, demokratisasi dan reformasi birokrasi berjalan tidak seiring, sehingga masing-masing akan mencari bentukan perubahan yang tidak teratur dan terkelola secara substanstif. Demokrasi menjelma dalam bentuk prosedural dan ingar-bingar yang menyerap terlalu banyak energi, sedangkan reformasi birokrasi tidak memperoleh dukungan kuat untuk menjadi sebuah agenda besar yang terlaksana secara konsisten, menyeluruh, dan tegas.
Meskipun demokratisasi telah memiliki tempat, tidak menjelma menjadi medium stimulasi yang memberikan ruang bagi hadirnya nilai-nilai baru bagi reformasi birokrasi itu sendiri. Dengan melihat pemetaan ini, bisa dikatakan kondisi di Indonesia adalah pada kutub yang kedua.


Lantas apa yang harus dilakukan? Benang merah dari hal ini pada ketidaktepatan memperlakukan demokratisasi dan reformasi birokrasi. Sebab itu, yang perlu dilihat adalah demokratisasi dan reformasi birokrasi memiliki potensi untuk saling memperkuat apabila dilaksanakan dengan manajemen yang baik pada masing-masingnya.
Demokratisasi memerlukan manajemen demokrasi agar tidak terlalu ingar-bingar dan menghabiskan energi untuk hal yang kurang substantif, sementara itu reformasi birokrasi juga memerlukan manajemen perubahan yang baik sehingga cakupan, arah dan skema yang menuju kepada pencapaian nilai baru dapat terjaga secara konsisten. Selain itu, yang perlu diwujudkan adalah manajemen rangkaian (continuum management) yang menghubungkan secara tepat hubungan dia ntara keduanya. Manajemen ini berfungsi menyeimbangkan dan mengarahkan kedua aspek tersebut secara tepat.

Senin, 04 Mei 2009

ESAI Tentang ELIT POLITIK DI INDONESIA

Sejarah politik di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai sekarang adalah sejarah pertarungan Elit politik. Mereka adalah orang-orang terpelajar pada masa penjajahan, anak-anak ningrat yang bersekolah dengan kurikulum belanda. Alumni-alumni itulah yang menggerakkan roda politik di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan sampai pada terbitnya Orde Baru. Pada masa kolonial, pemain dominan dalam kancah politik tentunya adalah belanda, elit politik yang berkuasa dipimpin oleh gubernur jendral yang dimandatkan oleh kerajaan belanda untuk memerintah di Hindia Belanda (Indonesia), pribumi yang terpelajar difungsikan sebagai birokrasi pengatur administrasi pemerintahan belanda, sedangkan keturunan cina dan arab merupakan elit lain dalam bidang ekonomi.
Menjelang kemerdekaan, didukung semakin banyaknya pribumi yang terpelajar dan matang oraganisasi massa berkembang pesat, dan partai-partai politik menyusul setelah itu. Pribumi yang terpelajar ini mengkampanyekan tentang kemerdekaan Indonesia, walaupun dengan metode perjuangan yang berbeda-beda. Dinamika terus berlanjut dalam perjalanan kemerdekaan Indonesia sampai saat di proklamirkannya kemederkaan Indonesia oleh pejuang-pejuang kemerdekaan yang merupakan elit pemuda Indonesia, kenpa saya bilang begitu, karena Sukarno, Hatta selama ini sebelum kemerdekaan adalah contoh pribumi yang dekat dengan penjajah (bukan dalam artian negatif), mereka adalah pemimpin pemuda yang sering diminta datang dalam pembicaraan dengan peguasa penjajah belanda maupun jepang. Dalam teori elit Pareto dan mosca, Sukarno dan Hatta sangat tepat dikatakan elit pada waktu itu.
Dalam perjalanan pasca kemerdekaan semakin banyak tercipta kelompok-kelompok elit di Indonesia, didukung oleh berkembangnya paham-paham politik yang berusaha menanamkan pengaruhnya di republik yang baru saja merdeka ini. Elit partai-partai seperti PKI, Masyumi, PNI adalah yang banyak mewarnai dinamika politik di Indonesia. Selanjutnya dengan berkembangnya angkatan bersenjata Indonesia, tumbuh pula jendral-jendral yang segera menjadi elit politik yang mempunyai kekuatan bersenjata. Puncak dari pertarungan elit-elit tersebut adalah kejadian 30 september 1965.
Setelah berkuasanya rejim militer Suharto dukungan amerika serikat, kelompok-kelompok elit yang berseberangan dengannya tidak dibiarkan berkembang, bahkan kalau perlu dihabisi. Walaupun tetap ada yang menyimpan kekuatan dibawah tanah. Namun dalam tubuh orde baru sendiri masih terjadi pertarungan elit didalamnya (antar jendral) yang menyebabkan peristiwa MALARI, walaupun tidak sampai membuat rejim itu kolaps. Hingga sampai jatuhnya rejim Suharto pada 1998 tidak merupakan kehendak dari segenap rakyat Indonesia, jatuhnya Suharto adalah katup pengaman dari berlanjutnya kerusuhan yang terjadi dimana-mana akibat provokasi dari Intelijen entah suruhan elit politik yang mana, sengaja untuk menciptakan kondisi seperti itu. Era reformasi yang mengatasnamakan rakyat merupakan pertarungan kembali elit politik lama yang dibungkam oleh Suharto dengan sisa kroni Suharto dan kekuatan baru yang menjunjung reformasi. Sampai sekarang rakyat hanya dijadikan penonton pertarungan elit, kesadaran politik masyarakat yang lemah itu malah dimanfaatkan untuk kelanggengan kekuasaan mereka bukannnya ditingkatkan. Pendidikan merupakan jalan satu-satunya untuk dapat merubah paradigma masyarakat memandang politik, atau pemimpin yang berdedikasi tinggi untuk kemajuan bangsa dan negara yang seperti tidak punya masa depan ini. Tapi bagaimana caranya?

ESAI Tentang PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA

Wacana tentang perempuan dalam kancah politik sangat pesat berkembang di Indonesia, semenjak bergulirnya era reformasi. Arus demokratisasi yang sengaja digulirkan oleh penguasa-penguasa era reformasi mensyaratkan kiprah perempuan yang lebih banyak dalam setiap aktivitas politik negara. Mulai dari hak-hak perempuan dalam politik sampai kuota perempuan di legislatif minimal 30% seperti yang dianjurkan oleh UNDP kepada Indonesia untuk agar Indonesia disebut negara yang demokratis dan good governance dimata dunia internasional digencarkan di seluruh tanah air. Tetapi apakah semua itu ada manfaatnya? Tidak usah dulu membicarakan situasi demokratisasi Indonesia atau kemajuan dalam perpolitikan Indonesia, setidaknya apa manfaatnya bagi perempuan itu sendiri?
Banyak memang yang mempertanyakan tentang kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan parisipasi perempuan dalam politik, walaupun banyak juga yang mengamininya. Pertanyaan-pertanyaan kritis itu terutama melihat perilaku praktisi politik di Indonesia maupun penguasa republik ini dalam mengantisipasi arus wacana kuota 30% perempuan dalam legislatif. Partai-partai politik di Indonesia kebanyakan hanya menjadikan perempuan sebagai caleg (calon legislatif) dikarenakan untuk memenuhi syarat yang 30% tadi bukan karena perempuan tersebut merupakan kader terbaik partai atau orang yang kapabel dalam mempresentasikan rakyat yang mendukungnya. Partai- partai tersebut malah kewalahan mencari siapa perempuan yang bakal dijadikan caleg, bahkan ada kabar yang mengatakan beberapa partai bersedia membayar perempuan yang mau dijadikan caleg.
Partisipasi politik perempuan dalam politik memang tidak boleh di kekang, atau sengaja dipinggirkan. Harus ada yang menjamin itu, baik dalam tataran hukum maupun normatif. Tetapi juga tidak harus dipaksakan perempuan terlibat berpartisipasi dalam segala aktifitas politik. Apalagi sampai di undangkan kuota 30% perempuan dalam legislatif, menurut saya peraturan itu rancu, kenapa harus 30% kenapa tidak 100% saja sekalian. Peraturan itu malah mempertegas inferioritas perempuan dalam politik karena harus dipaksa mencapai jumlah 30% dalam legislatif. Seharusnya yang dilakukan adalah menjamin tidak adanya perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban berpolitik, biarkan kedua gender ini berkompetisi dengan adil kalau memang kesetaraan gender yang diagung-agungkan.
Sedikitnya jumlah perempuan dalam legislatif tidak langsung mengindikasikan bahwa negara tersebut tidak demokratis atau hak perempuan diabaikan, ini adalah penilaian yang tidak adil, kita sebagai bangsa yang merdeka tidak seharusnya menerima begitu saja pandangan, serta penilaian dari barat apalagi menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kondisi masyarakat, sosial dan kebudayaan negara ini tentu berbeda dengan negara-negara eropa dan amerika, legislatif kita didominasi oleh laki-laki mungkin karena merekalah yang kapabel saat ini, sedangkan kaum wanitanya memang sedikit yang berminat atau kalah dalam kualitas. Sehingga kita tidak perlu tergesa-gesa mengikuti standar orang lain dalam politik, kalau memang yang dicari adalah kemajuan dalam bernegara kita, bukan hanya sekedar memenuhi target kuota sedangkan substansi dari demokrasi itu sendiri kita kerdilkan. Kalau terus seperti ini tidak akan ada perkembangan dalam perpolitikan Indonesia, apalagi partisipasi politik perempuan yang hanya dilihat dari jumlah kuota. Perempuan hanya dijadikan komoditas dalam politik.

Kamis, 30 April 2009

Mereka ada di sekitar kita

Miskin kota, Mereka ada di sekitar kita

Komunitas ini memang tidak akan tampak ketika kita sibuk menjalankan rutinitas sehari-hari,dan memang kebanyakan mereka pada siang hari-nya bekerja jauh dari lingkungan tempat mereka tinggal. Mereka akrab disebut kaum miskin kota (sub urban community), dan ada banyak lagi jenis pekerjaan dari kaum ini yang luput dari perhatian kita, ada pengemis, pedagang asongan, pemulung dan lain-lain.
Saya tidak akan membahas secara defenitif baku dalam tulisan ini tentang kaum miskin kota tersebut.namun saya klasifikasikan dalam tulisan ini mereka adalah kelompok masyarakat yang hidup didalam maupun dipinggiran kota yang pendapatan perkapitanya dibawah rata-rata. Walaupun berada pada posisi yang tidak menguntungkan namun sebaiknya kita tidak meremehkan peran mereka dalam perputaran ekonomi kota. Banyak dari mereka yang bekerja di sector formal seperti petugas perparkiran, dan petugas kebersihan kota, maupun yang berada di sector informal seperti penjual gorengan atau pembantu rumah tangga, bisa kita bayangkan kalau mereka tidak ada. Mereka juga mempunyai anak yang merupakan potensi bagi generasi selanjutnya yang bersekolah selayaknya anak-anak dari keluarga mampu walaupun terkadang terputus di tengah jalan atau tidak sekolah sama sekali.
Melihat potensi seperti itu yang sebenarnya kalau dikelola dengan benar dapat memutus lingkaran kemiskinan dari orang tua ke anak, namun bisa juga jadi pukulan balik bagi pemerintah yang gagal menanggulangi masalah ini. Bukankah dari sini akan timbul bibit-bibit potensial pelaku kriminal, pelacuran, dan preman? Sudah banyak yang menyadari hal diatas tetapi kenapa pemerintah selaku penanggungjawab kesejahteraan warga nya seakan-akan tak bergerak? Kita sudah capek menuntut, berteriak, mengumpat, kinerja birokrat penguasa (pemko, pemda, pemprov, dan pusat) dalam hal yang benar-benar menjadi klise ini (kesejahteraan rakyat).

Negara:penipu

Kebijakan presiden RI untuk membagi-bagikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) memang sebuah strategi menarik dan jitu. Secara politis kebijakan itu akan menaikkan popularitas pemerintahannya dimata rakyat yang selanjutnya tentu berdampak pada naiknya tingkat legitimasi pemerintahan SBY. Peningkatan legitimasi ini dibutuhkan bagi pemerintahan yang baru saja terpilih secara “demokratis”. Tentu ini akan menjadi hal yang mudah bagi tim pemerintahan SBY mengingat jumlah warga negaranya yang berstatus S1 kurang dari 25% di Negara ke-3 paling “demokratis” di dunia ini, versi amerika setelah Indonesia menjalankan pemilu 2004. di sisi lain proyek BLT ini berdampak fatalis, psikologi-nya rakyat dibuai dengan kemiskinannya, dengan seratus ribu per bulannya menciptakan rakyat yang malas dan tidak produktif. Dimana aspek pendidikan bagi mereka untuk memutus lingkaran kemiskinan ini? Negara bukan sebagai pemberi sedekah bagi rakyatnya, ini jelas semakin mempertegas karakter bangsa kita yang peminta-minta, huh!!
Apalagi yang bisa diharapkan dari Negara, seorang sosiolog beraliran posmo, Baudrillard mengatakan kemiskinan adalah produk pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya menghasilkan kemakmuran namun juga kemiskinan sebagai penyeimbang untuk memelihara system “kebutuhan” akan selalu melampaui produksi barang. Kemiskinan dipelihara oleh Negara, bukan hal yang mustahil di Negara kapitalistik ini hal itu terjadi, ditambah lagi pejabat negaranya tidak bermoral yang menjual kemiskinan rakyat untuk mendapatkan bantuan asing.

Masyarakat madani sebagai solusi

Kaum miskin kota sudah menjadi fenomena bagi pemerhati sosial kemasyarakatan di Indonesia yang harus di selesaikan. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bercitakan terwujudnya masyarakat madani telah banyak yang focus pada kelompok masyarakat ini. Cukup menggembirakan,karena telah ada beberapa komunitas yang berkembang pesat setelah di dampingi oleh suatu lembaga. Namun dilapangan sering di jumpai persaingan sesama lembaga swadaya masyarakat untuk mendapatkan suatu wilayah untuk dijadikan dampingan. Suburnya LSM tumbuh dinegara ini memang selain memberikan solusi juga menjadi masalah baru bagi ranah sosial ataupun politik. Orientasi yang berbeda-beda dari tiap lembaga tersebut membuat perbedaan pula pada praktik kerja mereka dilapangan. Bukan tidak mungkin juga ada LSM yang menjadikan kemiskinan ini menjadi proyek mereka untuk mendapat suntikan dana dari donatur.
Pendidikan adalah syarat menuju masyarakat madani. Karena untuk melawan hegemoni dari pemerintah yang tidak pro rakyat, rakyat juga harus menciptakan hegemoni tandingan.Hegemoni tandingan ini berjalan dengan perlahan menggunakan soft power nya yang attraktif untuk merebut pengaruh khalayak luas. Sehingga secara perlahan masyarakat dapat lepas dari ketergantungan terhadap Negara. Dan untuk memulai hegemoni tandingan itu, diciptakan lah intelektual dari kalangan mereka sendiri, yang bertanggung jawab pada kaumnya untuk membawa perubahan,dalam terminologi Gramscian disebut sebagai Intelektual Organik. Dengan konsep ini diharapkan dapat menuntaskan masalah miskin kota,bahkan permasalahan Negara versus masyarakat secara umum.
Bukannya menggurui, tapi hal seperti itulah yang sepatutnya dilakukan Lembaga Swadaya yang ada. Jadi tidak hanya mengkampanyekan wacana-wacana impor dari luar negeri saja, yang malah membuat rakyat bingung. Sibuk menerapkan tatanan nilai-nilai baru kedalam masyarakat,sedangkan masyarakat sendiri punya nilai-nilai yang orisinil dan bahkan belum tergali habis.
Marilah kita sama-sama merenungkan jalan mana yang lebih baik bagi kepentingan bersama. Namun selama dalam konteks kepentingan bersama, jalan yang mana saja yang dipilih tidak masalah, bukankah wajar berbeda dalam konsep perjuangan. Asalkan tetap sabar dan istiqomah dalam kebenaran, toh sejarah akan membuktikan nantinya siapa yang akan bertahan.

Jumat, 17 April 2009

Berpoligami Dan Kedewasaan Berdemokrasi


Ada fenomena yang mengusik pikiran saya saat kemaren masa kampanye pra pemilu legislatif. Ada sebuah gerakan yang dipelopori oleh aktivis perempuan (atau yang kerennya disebut feminis) yang menyoroti caleg-caleg mana saja yang melakukan Poligami. Untuk apa aktivis2 perempuan ini mencari-cari caleg yang mempraktikkan Poligami? Mereka rupanya ingin mengkampanyekan kepada seluruh calon pemilih terutama pemilih wanita untuk tidak memilih caleg yang melakukan Poligami.

Kalau untuk aktivitas para feminis tersebut menyoroti caleg mana saja yang mempraktikkan Poligami untuk di publikasikan kepada calon pemilih saya pikir sah-sah saja. Kita malah harus berterimakasih kepada para aktivis tersebut karena telah membantu masyarakat umum untuk mengenal lebih dalam pribadi caleg-caleg yang ada Sebagai negara yang demokratis dan menjamin keterbukaan informasi bagi seluruh lapisan masyarakatnya, kegiatan aktivis feminisme ini adalah contoh tegaknya sebuah pilar demokrasi. Lalu apa yang mengusik pikiran saya?

Pikiran saya terusik ketika kemudian para feminis tersebut mengkampanyekan kepada masyarakat - khususnya perempuan untuk tidak memilih caleg-caleg yang melakukan Poligami. -(Kita tentu sudah paham kenapa para feminis sangat anti pada Poligami, feminis menganggap poligami itu sangat merendahkan harkat dan martabat wanita. Kita tidak perlu lagi membahas masalah itu disini, karena sudah terlalu banyak saya kira tulisan maupun forum2 diskusi yang membahas persoalan itu, lagi pula saya memang kurang mengerti alur pikiran feminis2 ini.)- Saya terusik karena saya sama sekali tidak sepakat dengan apa yang mereka kampanyekan. -(Perlu dicatat bahwa saya sampai saat menulis artikel ini sama sekali belum menikah apalagi dua kali atau tiga, wong pacaran aja ngga, jadi saya ingin menghilangkan pretensi bahwa saya mendukung salah satu dari dua wacana ini yaitu Poligami dan Feminisme)- Saya terusik karena apa yang dilemparkan oleh aktivis perempuan tersebut kepada masyarakat luas adalah sebuah pembelajaran politik yang salah dan menyesatkan.

Saya tidak tahu apa landasan para aktivis perempuan tersebut mengeluarkan ‘fatwa’ untuk tidak memilih caleg yang berpoligami. Perlu saya ingatkan pembahasan kita sekarang dalam ranah politik, khususnya kita membahas Calon Legislatif atau wakil rakyat di parlemen. Kenapa saya katakan wacana yang dilemparkan oleh feminis agar tidak memilih caleg yang berpoligami adalah salah dan menyesatkan; apakah para feminis tersebut begitu yakinnya bahwa caleg yang tidak berpoligami lebih baik daripada yang berpoligami, lalu berdasarkan apa pertimbangan mereka bahwa caleg yang berpoligami tidak akan lebih baik melaksanakan tuganya nanti di lembaga legislatif apa hubungannya berpoligami dengan tugasnya sebagai legislator? Adalah sangat emosional jika seorang pemilih untuk menetapkan wakilnya di legislatif berdasarkan keadaan rumahtangga calon legislatif tersebut. Wacana untuk tidak memilih caleg yang berpoligami tidak memberikan pelajaran kepada pemilih untuk memilih berdasarkan rasional. Saya pikir para feminis tersebut secara emosional telah kebablasan memasuki ranah politik praktis dengan mewacanakan tidak memilih caleg berpoligami. Karena sangat membenci praktik poligami mereka juga sangat menbenci orang yang melakukannya, sehingga mereka merasa perlu bahwa caleg-caleg yang terpilih nanti tidak ada dari mereka yang melakukan poligami.

Untuk memilih wakil rakyat seharusnya yang dilihat rekam jejak apa saja yang telah dilakukannya untuk kepentingan umum maupun negara, prestasinya apa saja dan apa visi dan misinya kedepan. Feminis seharusnya tidak mencampur baurkan kondisi rumahtangga seseorang (politikus) dengan kapabilitas nya dalam menjalankan apa yang menjadi atau akan menjadi tanggungjawabnya, karena itu sangat tidak fair dan tidak rasional. Sampai kapan masyarakat Indonesia akan menjadi dewasa dalam berdemokrasi kalau penggiat2 perempuannya saja tidak dapat dewasa dalam berdemokrasi. Kita lihat kasus perselingkuhan Clinton dengan lewinsky, masyarakat Amerika yang sudah dewasa dalam berdemokrasi mampu memisahkan skandal seks presidennya dengan kapabilitasnya sebagai seorang pemimpin negara. Mereka tidak serta merta memecat presidennya yang terbukti selingkuh dengan perempuan lain selain istrinya, tetapi tetap memberikan kesempatan pada Clinton untuk memberikan kemampuan terbaiknya bagi Negara sampai akhir masa jabatannya. Saya dapat memahami perasaan wanita pada umumnya terhadap Poligami, namun penggiat feminis sebaiknya tidak menilai kredibilitas seseorang dalam ranah sosial dan politik dari kondisi rumahtangganya, terdengar sangat naif.

Masyarakat kita memang masih jauh dari kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi, dapat kita lihat dari kasus Pilkada2 di daerah yang sering berakhir ricuh karena tidak siap menerima kekalahan dan sebagainya. Masyarakat kita tidak memilih pemimpinnya berdasarkan pertimbangan yang Benar2 rasional, banyak dari mereka memilih karena kedekatan emosional, ketertarikan pada citra, fisik, kesamaan suku, agama dan sekarang ini pada iklan. Sebagai salah satu gerakan sosial, feminisme seharusnya mendukung perubahan masyarakat yang lebih baik, bukannya membutakan mata masyarakat dengan kesinisan mereka yang membabi buta pada patriarkhi.