Kamis, 30 April 2009

Mereka ada di sekitar kita

Miskin kota, Mereka ada di sekitar kita

Komunitas ini memang tidak akan tampak ketika kita sibuk menjalankan rutinitas sehari-hari,dan memang kebanyakan mereka pada siang hari-nya bekerja jauh dari lingkungan tempat mereka tinggal. Mereka akrab disebut kaum miskin kota (sub urban community), dan ada banyak lagi jenis pekerjaan dari kaum ini yang luput dari perhatian kita, ada pengemis, pedagang asongan, pemulung dan lain-lain.
Saya tidak akan membahas secara defenitif baku dalam tulisan ini tentang kaum miskin kota tersebut.namun saya klasifikasikan dalam tulisan ini mereka adalah kelompok masyarakat yang hidup didalam maupun dipinggiran kota yang pendapatan perkapitanya dibawah rata-rata. Walaupun berada pada posisi yang tidak menguntungkan namun sebaiknya kita tidak meremehkan peran mereka dalam perputaran ekonomi kota. Banyak dari mereka yang bekerja di sector formal seperti petugas perparkiran, dan petugas kebersihan kota, maupun yang berada di sector informal seperti penjual gorengan atau pembantu rumah tangga, bisa kita bayangkan kalau mereka tidak ada. Mereka juga mempunyai anak yang merupakan potensi bagi generasi selanjutnya yang bersekolah selayaknya anak-anak dari keluarga mampu walaupun terkadang terputus di tengah jalan atau tidak sekolah sama sekali.
Melihat potensi seperti itu yang sebenarnya kalau dikelola dengan benar dapat memutus lingkaran kemiskinan dari orang tua ke anak, namun bisa juga jadi pukulan balik bagi pemerintah yang gagal menanggulangi masalah ini. Bukankah dari sini akan timbul bibit-bibit potensial pelaku kriminal, pelacuran, dan preman? Sudah banyak yang menyadari hal diatas tetapi kenapa pemerintah selaku penanggungjawab kesejahteraan warga nya seakan-akan tak bergerak? Kita sudah capek menuntut, berteriak, mengumpat, kinerja birokrat penguasa (pemko, pemda, pemprov, dan pusat) dalam hal yang benar-benar menjadi klise ini (kesejahteraan rakyat).

Negara:penipu

Kebijakan presiden RI untuk membagi-bagikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) memang sebuah strategi menarik dan jitu. Secara politis kebijakan itu akan menaikkan popularitas pemerintahannya dimata rakyat yang selanjutnya tentu berdampak pada naiknya tingkat legitimasi pemerintahan SBY. Peningkatan legitimasi ini dibutuhkan bagi pemerintahan yang baru saja terpilih secara “demokratis”. Tentu ini akan menjadi hal yang mudah bagi tim pemerintahan SBY mengingat jumlah warga negaranya yang berstatus S1 kurang dari 25% di Negara ke-3 paling “demokratis” di dunia ini, versi amerika setelah Indonesia menjalankan pemilu 2004. di sisi lain proyek BLT ini berdampak fatalis, psikologi-nya rakyat dibuai dengan kemiskinannya, dengan seratus ribu per bulannya menciptakan rakyat yang malas dan tidak produktif. Dimana aspek pendidikan bagi mereka untuk memutus lingkaran kemiskinan ini? Negara bukan sebagai pemberi sedekah bagi rakyatnya, ini jelas semakin mempertegas karakter bangsa kita yang peminta-minta, huh!!
Apalagi yang bisa diharapkan dari Negara, seorang sosiolog beraliran posmo, Baudrillard mengatakan kemiskinan adalah produk pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya menghasilkan kemakmuran namun juga kemiskinan sebagai penyeimbang untuk memelihara system “kebutuhan” akan selalu melampaui produksi barang. Kemiskinan dipelihara oleh Negara, bukan hal yang mustahil di Negara kapitalistik ini hal itu terjadi, ditambah lagi pejabat negaranya tidak bermoral yang menjual kemiskinan rakyat untuk mendapatkan bantuan asing.

Masyarakat madani sebagai solusi

Kaum miskin kota sudah menjadi fenomena bagi pemerhati sosial kemasyarakatan di Indonesia yang harus di selesaikan. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bercitakan terwujudnya masyarakat madani telah banyak yang focus pada kelompok masyarakat ini. Cukup menggembirakan,karena telah ada beberapa komunitas yang berkembang pesat setelah di dampingi oleh suatu lembaga. Namun dilapangan sering di jumpai persaingan sesama lembaga swadaya masyarakat untuk mendapatkan suatu wilayah untuk dijadikan dampingan. Suburnya LSM tumbuh dinegara ini memang selain memberikan solusi juga menjadi masalah baru bagi ranah sosial ataupun politik. Orientasi yang berbeda-beda dari tiap lembaga tersebut membuat perbedaan pula pada praktik kerja mereka dilapangan. Bukan tidak mungkin juga ada LSM yang menjadikan kemiskinan ini menjadi proyek mereka untuk mendapat suntikan dana dari donatur.
Pendidikan adalah syarat menuju masyarakat madani. Karena untuk melawan hegemoni dari pemerintah yang tidak pro rakyat, rakyat juga harus menciptakan hegemoni tandingan.Hegemoni tandingan ini berjalan dengan perlahan menggunakan soft power nya yang attraktif untuk merebut pengaruh khalayak luas. Sehingga secara perlahan masyarakat dapat lepas dari ketergantungan terhadap Negara. Dan untuk memulai hegemoni tandingan itu, diciptakan lah intelektual dari kalangan mereka sendiri, yang bertanggung jawab pada kaumnya untuk membawa perubahan,dalam terminologi Gramscian disebut sebagai Intelektual Organik. Dengan konsep ini diharapkan dapat menuntaskan masalah miskin kota,bahkan permasalahan Negara versus masyarakat secara umum.
Bukannya menggurui, tapi hal seperti itulah yang sepatutnya dilakukan Lembaga Swadaya yang ada. Jadi tidak hanya mengkampanyekan wacana-wacana impor dari luar negeri saja, yang malah membuat rakyat bingung. Sibuk menerapkan tatanan nilai-nilai baru kedalam masyarakat,sedangkan masyarakat sendiri punya nilai-nilai yang orisinil dan bahkan belum tergali habis.
Marilah kita sama-sama merenungkan jalan mana yang lebih baik bagi kepentingan bersama. Namun selama dalam konteks kepentingan bersama, jalan yang mana saja yang dipilih tidak masalah, bukankah wajar berbeda dalam konsep perjuangan. Asalkan tetap sabar dan istiqomah dalam kebenaran, toh sejarah akan membuktikan nantinya siapa yang akan bertahan.

Jumat, 17 April 2009

Berpoligami Dan Kedewasaan Berdemokrasi


Ada fenomena yang mengusik pikiran saya saat kemaren masa kampanye pra pemilu legislatif. Ada sebuah gerakan yang dipelopori oleh aktivis perempuan (atau yang kerennya disebut feminis) yang menyoroti caleg-caleg mana saja yang melakukan Poligami. Untuk apa aktivis2 perempuan ini mencari-cari caleg yang mempraktikkan Poligami? Mereka rupanya ingin mengkampanyekan kepada seluruh calon pemilih terutama pemilih wanita untuk tidak memilih caleg yang melakukan Poligami.

Kalau untuk aktivitas para feminis tersebut menyoroti caleg mana saja yang mempraktikkan Poligami untuk di publikasikan kepada calon pemilih saya pikir sah-sah saja. Kita malah harus berterimakasih kepada para aktivis tersebut karena telah membantu masyarakat umum untuk mengenal lebih dalam pribadi caleg-caleg yang ada Sebagai negara yang demokratis dan menjamin keterbukaan informasi bagi seluruh lapisan masyarakatnya, kegiatan aktivis feminisme ini adalah contoh tegaknya sebuah pilar demokrasi. Lalu apa yang mengusik pikiran saya?

Pikiran saya terusik ketika kemudian para feminis tersebut mengkampanyekan kepada masyarakat - khususnya perempuan untuk tidak memilih caleg-caleg yang melakukan Poligami. -(Kita tentu sudah paham kenapa para feminis sangat anti pada Poligami, feminis menganggap poligami itu sangat merendahkan harkat dan martabat wanita. Kita tidak perlu lagi membahas masalah itu disini, karena sudah terlalu banyak saya kira tulisan maupun forum2 diskusi yang membahas persoalan itu, lagi pula saya memang kurang mengerti alur pikiran feminis2 ini.)- Saya terusik karena saya sama sekali tidak sepakat dengan apa yang mereka kampanyekan. -(Perlu dicatat bahwa saya sampai saat menulis artikel ini sama sekali belum menikah apalagi dua kali atau tiga, wong pacaran aja ngga, jadi saya ingin menghilangkan pretensi bahwa saya mendukung salah satu dari dua wacana ini yaitu Poligami dan Feminisme)- Saya terusik karena apa yang dilemparkan oleh aktivis perempuan tersebut kepada masyarakat luas adalah sebuah pembelajaran politik yang salah dan menyesatkan.

Saya tidak tahu apa landasan para aktivis perempuan tersebut mengeluarkan ‘fatwa’ untuk tidak memilih caleg yang berpoligami. Perlu saya ingatkan pembahasan kita sekarang dalam ranah politik, khususnya kita membahas Calon Legislatif atau wakil rakyat di parlemen. Kenapa saya katakan wacana yang dilemparkan oleh feminis agar tidak memilih caleg yang berpoligami adalah salah dan menyesatkan; apakah para feminis tersebut begitu yakinnya bahwa caleg yang tidak berpoligami lebih baik daripada yang berpoligami, lalu berdasarkan apa pertimbangan mereka bahwa caleg yang berpoligami tidak akan lebih baik melaksanakan tuganya nanti di lembaga legislatif apa hubungannya berpoligami dengan tugasnya sebagai legislator? Adalah sangat emosional jika seorang pemilih untuk menetapkan wakilnya di legislatif berdasarkan keadaan rumahtangga calon legislatif tersebut. Wacana untuk tidak memilih caleg yang berpoligami tidak memberikan pelajaran kepada pemilih untuk memilih berdasarkan rasional. Saya pikir para feminis tersebut secara emosional telah kebablasan memasuki ranah politik praktis dengan mewacanakan tidak memilih caleg berpoligami. Karena sangat membenci praktik poligami mereka juga sangat menbenci orang yang melakukannya, sehingga mereka merasa perlu bahwa caleg-caleg yang terpilih nanti tidak ada dari mereka yang melakukan poligami.

Untuk memilih wakil rakyat seharusnya yang dilihat rekam jejak apa saja yang telah dilakukannya untuk kepentingan umum maupun negara, prestasinya apa saja dan apa visi dan misinya kedepan. Feminis seharusnya tidak mencampur baurkan kondisi rumahtangga seseorang (politikus) dengan kapabilitas nya dalam menjalankan apa yang menjadi atau akan menjadi tanggungjawabnya, karena itu sangat tidak fair dan tidak rasional. Sampai kapan masyarakat Indonesia akan menjadi dewasa dalam berdemokrasi kalau penggiat2 perempuannya saja tidak dapat dewasa dalam berdemokrasi. Kita lihat kasus perselingkuhan Clinton dengan lewinsky, masyarakat Amerika yang sudah dewasa dalam berdemokrasi mampu memisahkan skandal seks presidennya dengan kapabilitasnya sebagai seorang pemimpin negara. Mereka tidak serta merta memecat presidennya yang terbukti selingkuh dengan perempuan lain selain istrinya, tetapi tetap memberikan kesempatan pada Clinton untuk memberikan kemampuan terbaiknya bagi Negara sampai akhir masa jabatannya. Saya dapat memahami perasaan wanita pada umumnya terhadap Poligami, namun penggiat feminis sebaiknya tidak menilai kredibilitas seseorang dalam ranah sosial dan politik dari kondisi rumahtangganya, terdengar sangat naif.

Masyarakat kita memang masih jauh dari kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi, dapat kita lihat dari kasus Pilkada2 di daerah yang sering berakhir ricuh karena tidak siap menerima kekalahan dan sebagainya. Masyarakat kita tidak memilih pemimpinnya berdasarkan pertimbangan yang Benar2 rasional, banyak dari mereka memilih karena kedekatan emosional, ketertarikan pada citra, fisik, kesamaan suku, agama dan sekarang ini pada iklan. Sebagai salah satu gerakan sosial, feminisme seharusnya mendukung perubahan masyarakat yang lebih baik, bukannya membutakan mata masyarakat dengan kesinisan mereka yang membabi buta pada patriarkhi.