Senin, 04 Mei 2009

ESAI Tentang PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA

Wacana tentang perempuan dalam kancah politik sangat pesat berkembang di Indonesia, semenjak bergulirnya era reformasi. Arus demokratisasi yang sengaja digulirkan oleh penguasa-penguasa era reformasi mensyaratkan kiprah perempuan yang lebih banyak dalam setiap aktivitas politik negara. Mulai dari hak-hak perempuan dalam politik sampai kuota perempuan di legislatif minimal 30% seperti yang dianjurkan oleh UNDP kepada Indonesia untuk agar Indonesia disebut negara yang demokratis dan good governance dimata dunia internasional digencarkan di seluruh tanah air. Tetapi apakah semua itu ada manfaatnya? Tidak usah dulu membicarakan situasi demokratisasi Indonesia atau kemajuan dalam perpolitikan Indonesia, setidaknya apa manfaatnya bagi perempuan itu sendiri?
Banyak memang yang mempertanyakan tentang kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan parisipasi perempuan dalam politik, walaupun banyak juga yang mengamininya. Pertanyaan-pertanyaan kritis itu terutama melihat perilaku praktisi politik di Indonesia maupun penguasa republik ini dalam mengantisipasi arus wacana kuota 30% perempuan dalam legislatif. Partai-partai politik di Indonesia kebanyakan hanya menjadikan perempuan sebagai caleg (calon legislatif) dikarenakan untuk memenuhi syarat yang 30% tadi bukan karena perempuan tersebut merupakan kader terbaik partai atau orang yang kapabel dalam mempresentasikan rakyat yang mendukungnya. Partai- partai tersebut malah kewalahan mencari siapa perempuan yang bakal dijadikan caleg, bahkan ada kabar yang mengatakan beberapa partai bersedia membayar perempuan yang mau dijadikan caleg.
Partisipasi politik perempuan dalam politik memang tidak boleh di kekang, atau sengaja dipinggirkan. Harus ada yang menjamin itu, baik dalam tataran hukum maupun normatif. Tetapi juga tidak harus dipaksakan perempuan terlibat berpartisipasi dalam segala aktifitas politik. Apalagi sampai di undangkan kuota 30% perempuan dalam legislatif, menurut saya peraturan itu rancu, kenapa harus 30% kenapa tidak 100% saja sekalian. Peraturan itu malah mempertegas inferioritas perempuan dalam politik karena harus dipaksa mencapai jumlah 30% dalam legislatif. Seharusnya yang dilakukan adalah menjamin tidak adanya perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban berpolitik, biarkan kedua gender ini berkompetisi dengan adil kalau memang kesetaraan gender yang diagung-agungkan.
Sedikitnya jumlah perempuan dalam legislatif tidak langsung mengindikasikan bahwa negara tersebut tidak demokratis atau hak perempuan diabaikan, ini adalah penilaian yang tidak adil, kita sebagai bangsa yang merdeka tidak seharusnya menerima begitu saja pandangan, serta penilaian dari barat apalagi menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kondisi masyarakat, sosial dan kebudayaan negara ini tentu berbeda dengan negara-negara eropa dan amerika, legislatif kita didominasi oleh laki-laki mungkin karena merekalah yang kapabel saat ini, sedangkan kaum wanitanya memang sedikit yang berminat atau kalah dalam kualitas. Sehingga kita tidak perlu tergesa-gesa mengikuti standar orang lain dalam politik, kalau memang yang dicari adalah kemajuan dalam bernegara kita, bukan hanya sekedar memenuhi target kuota sedangkan substansi dari demokrasi itu sendiri kita kerdilkan. Kalau terus seperti ini tidak akan ada perkembangan dalam perpolitikan Indonesia, apalagi partisipasi politik perempuan yang hanya dilihat dari jumlah kuota. Perempuan hanya dijadikan komoditas dalam politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar