Senin, 06 Juli 2009

(mahasiswa) Kelas Pecundang

Sudah saatnya sekarang dipertanyakan lagi, benarkah mahasiswa adalah agen perubahan. Karena memang menurut hukum alam tidak ada yang abadi, begitu juga status yang telah dengan bangganya dibebankan ke salah satu kelompok sosial tersebut setelah sekian lama. Kecendrungan ini bukannya tanpa alasan, karena kekuatan mahasiswa dahulu pernah tidak ada, dan kemungkinan untuk kembali kepada itu cukup besar dan semangat zaman mendukung ke arah itu.

Mahasiswa pada tataran teoritisnya masuk dalam kekuatan sosial dikarenakan akses mereka kepada pengetahuan dan informasi diatas rata-rata masyarakat awam. Mereka menjadi sebuah gerakan pentransformasi nilai-nilai baru dalam bentuk apapun yang dianggap mampu merubah keadaan bangsanya baik sosial, budaya, sains bahkan politik.
Kekritisan mahasiswa merupakan efek langsung dari apa yang mereka pelajari dikampus dan kesadaran posisi sosial mereka. Mahasiswa selalu diidentikkan dengan gagasan-gagasan baru yang dianggap aneh para orang-orang tua, dianggap pembangkang karena menerapkan nilai baru, namun semua maklum karena mau tidak mau yang muda bakal menggantikan yang tua. Karena itu para calon sarjana itu di sebut agen perubahan, yang pada masanya nanti, saat generasi mereka yang berkarya di dunia ini nilai-nilai itu akan di praktikkan.

Dan itu seakan-akan menjadi warisan sejarah kepada setiap diri mahasiswa, sampai sekarang dengan segala distorsi yang terjadi. Begitu banyak contoh kekuatan mahasiswa mengambil peranan dalam perubahan di suatu negeri, revolusi Rusia, revolusi Cina, Iran, Perancis dan revolusi kemerdekaan Indonesia adalah contoh dimana kekuatan mahasiswa berperan besar, juga dalam beberapa gerakan-gerakan dimana seorang tiran dijatuhkan, seperti di Perancis, Indonesia, Filipina dan banyak lagi di seluruh dunia. Ini semua dijadikan referensi bagi mahasiswa selanjutnya untuk tetap berada pada garis perubahan.

Namun masihkah relevan pada masa sekarang ini disebut mahasiswa adalah agen perubahan??
Kita review kembali sebentar kemasa beberapa puluh tahun yang lalu, pada masa revolusioner di Rusia atau masa-masa mahasiswa paris dibakar api revolusi pada pertengahan 1968 bisa juga ke Indonesia sepanjang perjuangan kemerdekaannya sampai era reformasi 1998. Mahasiswa kalau dilihat dari asal usulnya sebagian besar berasal dari keluarga menengah keatas, anak-anak yang tidak disuruh bekerja walaupun sudah dewasa namun menuntut ilmu yang lebih tinggi lagi, sungguh sebuah kesempatan yang tidak didapatkan kawan mereka yang kurang beruntung. Sehingga kecendrungannya pada waktu itu terjadi kesenjangan pengetahuan pada para mahasiswa dengan masyarakat awam. Mahasiswa secara langsung dapat merespon kebijakan pemerintah misalnya, apakah itu sesuai atau tidak dengan kepentingan umum yang mereka nilai dengan apa yang mereka dapatkan dikampus, tentu masyarakat awam akan lebih lamban dalam hal ini dengan segala keterbatasannya, dan karena itu mahasiswa yang telah dikirim untuk menuntut ilmu itu mempunyai tanggungjawab lagi untuk mentransformasikan ilmu ke masyarakatnya. Kecendrungan seperti itu pada masa-masa tersebut membuat mahasiswa yang tersadarkan dibangku kuliahnya lebih kritis dan agresif dengan segala fasilitas yang mereka miliki sebagai mahasiswa dan kelas menengah, mereka selalu menjadi pelopor dalam pemberontakan-pemberontakan, debat-debat publik, garda terdepan dalam demonstrasi menentang pemerintah, dan aktivitas politik lainnya. Walaupun dalam beberapa kasus terjadi dilema atau bisa juga dikatakan ironi, seperti di paris 1968 ketika mahasiswa yang kelas menengah harus berhadap-hadapan dengan polisi yang notabene adalah anak-anak petani yang mereka bela, kekacauan sistem yang nyata.

Jika dilihat dari teori kelas, mahasiswa memang sulit untuk dikatakan menduduki kelas tertentu, tidak memiliki basis ekonomi, produk dari masyarakat sebelumnya dan tergantung, ini menjadi kelemahan mereka untuk berada pada elemen penting revolusi, namun dalam sejarahnya ketidakjelasan status inilah yang merevolusionerkan diri mereka masing-masing. Mereka muda dan tidak punya tanggungjawab besar (dalam artian keluarga-anak-istri), mereka punya akses lebih (kelas menengah), mereka bukanlah orang mapan secara langsung (kepemilikan orangtua, sehingga mereka tidak takut kehilangan harta benda dan memulai dari nol), inilah beberapa faktor pendukung mereka terjun sebagai garda terdepan perubahan dan mereka percaya itu sepenuh hati.

Bagaimana dengan masa sekarang? Kelihatannya kesenjangan informasi dan pengetahuan itu semakin tipis saja. Informasi kini bisa diakses siapa saja, pengetahuan juga begitu, respon masyarakat tidak perlu menunggu lama dan tidak perlu disuarakan mahasiswa terlebih dahulu. Didukung dengan suasana demokratisasi, semua kelompok masyarakat tanpa pandang bulu dapat menggelar aksi-aksinya dan lama-kelamaan malah semakin terorganisir saja tanpa bantuan “orang luar”. Belum dapat diketahui apakah masing-masing kelompok menyadari fenomena ini (mahasiswa dan berbagai elemen didalam masyarakat). Mahasiswa semakin terpinggirkan dalam konstalasi pergerakan sosial, dan politik. Setiap elemen mampu bergerak mandiri. Hmm bukankah ini seperti analisa marx, yang tidak menempatkan mahasiswa dalam elemen revolusi karena mereka adalah bagian dari borjuis. Bahkan sekarang semakin memperjelas statusnya sebagai borjuis kecil, dengan segala tingkah lakunya, mereka adalah komoditi pasar sekaligus pangsa pasar ekslusif dan potensial bagi produk-produk mobil,sepeda motor, HP, fashion, kosmetik, memanfaatkan status dan gaya hidup jiwa muda mereka yang telah diredam, dikendalikan tanpa mereka sadar melalui majalah, tv, radio dan musik-pop sampah. Kampus kini lebih banyak dijadikan sebagai lahan promosi produk terbaru, pagelaran musik dan festival olahraga yang disponsori produk tertentu, iklim yang sangat tidak menarik dan mematikan keintelektualan serta kekritisan apalagi revolusioner..hmmmm...
Sementara itu para aktivis organisasi mahasiswa ada yang sibuk ‘meniti karir’ untuk masa depannya, ada juga yang hanya ikut arus tanpa mengerti apa yang dia lakukan sebagai aktivis organisasi, walaupun ada yang serius untuk perubahan namun sayangnya dia terlalu percaya bahwa hanya dia dan organisasinya lah yang mampu membuat perubahan. Ini semakin mempertegas bahwa saat ini mahasiswa (dengan berat hati dan tidak mengurangi hormat saya pada para penggiat mahasiswa) tidak lagi punya kekuatan perubah, dan untuk sementara tidak usah memakai slogan Agent of Change- nya untuk waktu yang tidak ditentukan.