Jumat, 08 Mei 2009

REFORMASI BIROKRASI

CRITICAL REVIEW
ADHITYA FIESTA
060906016
DEPT. ILMU POLITIK
MK : KEKUATAN-KEKUATAN POLITIK INDONESIA


Reformasi birokrasi di Indonesia adalah agenda besar yang belum selesai.Dikatakan demikian karena tujuan reformasi berupa penciptaan tatanan baru dengan tingkat daya kerja yang lebih efektif untuk melaksanakan fungsi pemerintahan belum mencapai kesimpulan yang baik.
Indikasinya ada dua. Pertama, belum sepakatnya pemerintahan tentang struktur organisasi yang tepat dalam konteks model pemerintahan desentralisasi di Indonesia. Pada level pemerintah pusat, belum selesainya peraturan tentang kementerian negara menunjukkan keengganan memiliki struktur organisasi pemerintah yang terkelola secara lebih terkendali.
Kementerian yang berubah dengan latar kepentingan penguasa menunjukkan politik masih menjadi pengaruh signifikan bagi birokrasi. Kebingungan juga terjadi pada level pemerintah daerah, berubahnya pedoman struktur organisasi pemerintah daerah tiga kali, yaitu peraturan tahun 2000, PP 8 Tahun 2003, dan PP 41 Tahun 2007.Hal itu menunjukkan desain struktur organisasi pemerintah daerah masih mengalami transformasi dan penyesuaian bentuk yang berdasar pada pemaknaan desentralisasi di tataran pejabat publik yang juga sering berubah.
Kedua, belum tereksekusinya perubahan nilai dan kultural dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia secara meluas. Indikatornya, masih tingginya tingkat korupsi dan penyalahgunaan wewenang pejabat publik.
Penangkapan para pejabat publik pada level pemerintah pusat dan daerah oleh KPK menunjukkan secara nilai dan kultural, birokrasi masih diterjemahkan sebagai instrumen kekuasaan yang memiliki kemanfaatan politik. Jabatan dianggap memiliki posisi tawar yang kuat dan memberikan keuntungan pribadi apabila dikelola menurut kepentingan pejabat itu sendiri. Pada aspek yang pragmatis, birokrasi masih menunjukkan watak yang lama.
Apa yang sebenarnya menjadikan agenda reformasi birokrasi berjalan lambat dan ragu-ragu?. Menjawab pertanyaan tersebut, perlu merujuk latar belakang reformasi di negara ini. Kita bisa menyimpulkan reformasi di negara ini dihasilkan dari sebuah konflik. Sebagai hasil dari konflik yang ditandai bergantinya rezim, perubahan dalam perangkat kebijakan dasar dan arus kepentingan baru yang sangat besar.
Perubahan dalam masa tersebut kemudian menghasilkan bentukan cara pemerintahan model transformatif yang diwarnai dengan dinamika dan fluktuasi sosial politik yang sangat tinggi. Banyaknya kepentingan baru yang muncul dalam masa transformasi memberikan implikasi terhadap daya dukung energi yang tidak memadai untuk mendukung semua aspek perubahan. Sebagai hasil dari perubahan yang tidak menyeluruh pada beberapa aspek bernegara adalah tidak selesainya seluruh perubahan pada tiap aspek.
Bisa disadari jika demokratisasi sebagai hasil reformasi adalah wujud ekspektasi yang besar terhadap kondisi baru. Namun, saya justru melihat adanya hubungan erat antara demokratisasi dengan implementasi reformasi birokrasi yang terjadi dalam reformasi 1998 hingga sekarang.
Seperti yang telah dijelaskan, reformasi birokrasi merupakan salah satu pekerjaan yang dilaksanakan penguasa dengan tidak menyeluruh. Reformasi birokrasi dilakukan sebagai sebuah pilihan di antara beberapa lingkup reformasi lain. Sebab itu, bisa dipahami jika perubahan yang terjadi cenderung lambat dan ragu-ragu. Demokratisasi yang terjadi tidak serta-merta memberikan pengaruh positif yang kuat bagi terlaksananya reformasi birokrasi.
Secara konseptual, hubungan antara demokratisasi dan reformasi birokrasi mengalami perdebatan yang hebat. Demokratisasi dan reformasi birokrasi di Indonesia memiliki hubungan yang bipolar. Pada satu kutub, hubungan keduanya bisa positif, sedangkan pada kutub yang lain hubungan keduanya bisa negatif. Hubungan di antara keduanya bisa positif apabila demokratisasi bisa mendukung terjadinya reformasi birokrasi, sementara itu hubungan keduanya bisa negatif apabila demokratisasi justru mengganggu reformas birokrasi.
Demokratisasi bisa mendukung terjadinya reformasi birokrasi itu terjadi dalam tiga konteks, yaitu pertama, sebagai latar momentum. Reformasi birokrasi membutuhkan prasyarat adanya momentum perubahan. Tidak semua perubahan akan memberikan jalan bagi reformasi birokrasi, perubahan yang didasari atas demokratisasi sajalah yang memberikan peluang adanya reformasi ini.
Kedua, sebagai medium stumulasi. Dalam hal ini, demokratisasi memberikan jalan bagi prioritas reformasi bikrokrasi. Demokratisasi melihat reformasi birokrasi sebagai bangunan sistem yang memberikan banyak pengaruh bagi penerjemahan semangat demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang hadir tidak berkembang secara egois dengan menonjolkan persoalan representativitas kepentingan semata.
Ketiga, sebagai sebuah nilai yang hendak diwujudkan. Perubahan yang dihasilkan dari demokratisasi dan terlaksana dalam ruang demokratisasi memiliki potensi memunculkan semangat baru yang dihasilkan dari reformasi birokrasi tersebut. Sebagai sebuah perubahan, reformasi biorkrasi memiliki keniscyaan untuk memilih model baru yang hendak digunakan dan dengan akomodasi serta dorongan demokratisasi yang tepat dan secara baik, model birokrasi yang berubah tadi juga akan memilih demokrasi sebagai rujukannya.
Kutub yang kedua, yaitu hubungan negatif dimana demokratisasi justru mengganggu reformasi birokrasi terjadi dalam wujud yang berlawanan dengan kutub yang pertama. Dalam kutub kedua ini, demokratisasi dan reformasi birokrasi berjalan tidak seiring, sehingga masing-masing akan mencari bentukan perubahan yang tidak teratur dan terkelola secara substanstif. Demokrasi menjelma dalam bentuk prosedural dan ingar-bingar yang menyerap terlalu banyak energi, sedangkan reformasi birokrasi tidak memperoleh dukungan kuat untuk menjadi sebuah agenda besar yang terlaksana secara konsisten, menyeluruh, dan tegas.
Meskipun demokratisasi telah memiliki tempat, tidak menjelma menjadi medium stimulasi yang memberikan ruang bagi hadirnya nilai-nilai baru bagi reformasi birokrasi itu sendiri. Dengan melihat pemetaan ini, bisa dikatakan kondisi di Indonesia adalah pada kutub yang kedua.


Lantas apa yang harus dilakukan? Benang merah dari hal ini pada ketidaktepatan memperlakukan demokratisasi dan reformasi birokrasi. Sebab itu, yang perlu dilihat adalah demokratisasi dan reformasi birokrasi memiliki potensi untuk saling memperkuat apabila dilaksanakan dengan manajemen yang baik pada masing-masingnya.
Demokratisasi memerlukan manajemen demokrasi agar tidak terlalu ingar-bingar dan menghabiskan energi untuk hal yang kurang substantif, sementara itu reformasi birokrasi juga memerlukan manajemen perubahan yang baik sehingga cakupan, arah dan skema yang menuju kepada pencapaian nilai baru dapat terjaga secara konsisten. Selain itu, yang perlu diwujudkan adalah manajemen rangkaian (continuum management) yang menghubungkan secara tepat hubungan dia ntara keduanya. Manajemen ini berfungsi menyeimbangkan dan mengarahkan kedua aspek tersebut secara tepat.

Senin, 04 Mei 2009

ESAI Tentang ELIT POLITIK DI INDONESIA

Sejarah politik di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai sekarang adalah sejarah pertarungan Elit politik. Mereka adalah orang-orang terpelajar pada masa penjajahan, anak-anak ningrat yang bersekolah dengan kurikulum belanda. Alumni-alumni itulah yang menggerakkan roda politik di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan sampai pada terbitnya Orde Baru. Pada masa kolonial, pemain dominan dalam kancah politik tentunya adalah belanda, elit politik yang berkuasa dipimpin oleh gubernur jendral yang dimandatkan oleh kerajaan belanda untuk memerintah di Hindia Belanda (Indonesia), pribumi yang terpelajar difungsikan sebagai birokrasi pengatur administrasi pemerintahan belanda, sedangkan keturunan cina dan arab merupakan elit lain dalam bidang ekonomi.
Menjelang kemerdekaan, didukung semakin banyaknya pribumi yang terpelajar dan matang oraganisasi massa berkembang pesat, dan partai-partai politik menyusul setelah itu. Pribumi yang terpelajar ini mengkampanyekan tentang kemerdekaan Indonesia, walaupun dengan metode perjuangan yang berbeda-beda. Dinamika terus berlanjut dalam perjalanan kemerdekaan Indonesia sampai saat di proklamirkannya kemederkaan Indonesia oleh pejuang-pejuang kemerdekaan yang merupakan elit pemuda Indonesia, kenpa saya bilang begitu, karena Sukarno, Hatta selama ini sebelum kemerdekaan adalah contoh pribumi yang dekat dengan penjajah (bukan dalam artian negatif), mereka adalah pemimpin pemuda yang sering diminta datang dalam pembicaraan dengan peguasa penjajah belanda maupun jepang. Dalam teori elit Pareto dan mosca, Sukarno dan Hatta sangat tepat dikatakan elit pada waktu itu.
Dalam perjalanan pasca kemerdekaan semakin banyak tercipta kelompok-kelompok elit di Indonesia, didukung oleh berkembangnya paham-paham politik yang berusaha menanamkan pengaruhnya di republik yang baru saja merdeka ini. Elit partai-partai seperti PKI, Masyumi, PNI adalah yang banyak mewarnai dinamika politik di Indonesia. Selanjutnya dengan berkembangnya angkatan bersenjata Indonesia, tumbuh pula jendral-jendral yang segera menjadi elit politik yang mempunyai kekuatan bersenjata. Puncak dari pertarungan elit-elit tersebut adalah kejadian 30 september 1965.
Setelah berkuasanya rejim militer Suharto dukungan amerika serikat, kelompok-kelompok elit yang berseberangan dengannya tidak dibiarkan berkembang, bahkan kalau perlu dihabisi. Walaupun tetap ada yang menyimpan kekuatan dibawah tanah. Namun dalam tubuh orde baru sendiri masih terjadi pertarungan elit didalamnya (antar jendral) yang menyebabkan peristiwa MALARI, walaupun tidak sampai membuat rejim itu kolaps. Hingga sampai jatuhnya rejim Suharto pada 1998 tidak merupakan kehendak dari segenap rakyat Indonesia, jatuhnya Suharto adalah katup pengaman dari berlanjutnya kerusuhan yang terjadi dimana-mana akibat provokasi dari Intelijen entah suruhan elit politik yang mana, sengaja untuk menciptakan kondisi seperti itu. Era reformasi yang mengatasnamakan rakyat merupakan pertarungan kembali elit politik lama yang dibungkam oleh Suharto dengan sisa kroni Suharto dan kekuatan baru yang menjunjung reformasi. Sampai sekarang rakyat hanya dijadikan penonton pertarungan elit, kesadaran politik masyarakat yang lemah itu malah dimanfaatkan untuk kelanggengan kekuasaan mereka bukannnya ditingkatkan. Pendidikan merupakan jalan satu-satunya untuk dapat merubah paradigma masyarakat memandang politik, atau pemimpin yang berdedikasi tinggi untuk kemajuan bangsa dan negara yang seperti tidak punya masa depan ini. Tapi bagaimana caranya?

ESAI Tentang PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA

Wacana tentang perempuan dalam kancah politik sangat pesat berkembang di Indonesia, semenjak bergulirnya era reformasi. Arus demokratisasi yang sengaja digulirkan oleh penguasa-penguasa era reformasi mensyaratkan kiprah perempuan yang lebih banyak dalam setiap aktivitas politik negara. Mulai dari hak-hak perempuan dalam politik sampai kuota perempuan di legislatif minimal 30% seperti yang dianjurkan oleh UNDP kepada Indonesia untuk agar Indonesia disebut negara yang demokratis dan good governance dimata dunia internasional digencarkan di seluruh tanah air. Tetapi apakah semua itu ada manfaatnya? Tidak usah dulu membicarakan situasi demokratisasi Indonesia atau kemajuan dalam perpolitikan Indonesia, setidaknya apa manfaatnya bagi perempuan itu sendiri?
Banyak memang yang mempertanyakan tentang kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan parisipasi perempuan dalam politik, walaupun banyak juga yang mengamininya. Pertanyaan-pertanyaan kritis itu terutama melihat perilaku praktisi politik di Indonesia maupun penguasa republik ini dalam mengantisipasi arus wacana kuota 30% perempuan dalam legislatif. Partai-partai politik di Indonesia kebanyakan hanya menjadikan perempuan sebagai caleg (calon legislatif) dikarenakan untuk memenuhi syarat yang 30% tadi bukan karena perempuan tersebut merupakan kader terbaik partai atau orang yang kapabel dalam mempresentasikan rakyat yang mendukungnya. Partai- partai tersebut malah kewalahan mencari siapa perempuan yang bakal dijadikan caleg, bahkan ada kabar yang mengatakan beberapa partai bersedia membayar perempuan yang mau dijadikan caleg.
Partisipasi politik perempuan dalam politik memang tidak boleh di kekang, atau sengaja dipinggirkan. Harus ada yang menjamin itu, baik dalam tataran hukum maupun normatif. Tetapi juga tidak harus dipaksakan perempuan terlibat berpartisipasi dalam segala aktifitas politik. Apalagi sampai di undangkan kuota 30% perempuan dalam legislatif, menurut saya peraturan itu rancu, kenapa harus 30% kenapa tidak 100% saja sekalian. Peraturan itu malah mempertegas inferioritas perempuan dalam politik karena harus dipaksa mencapai jumlah 30% dalam legislatif. Seharusnya yang dilakukan adalah menjamin tidak adanya perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban berpolitik, biarkan kedua gender ini berkompetisi dengan adil kalau memang kesetaraan gender yang diagung-agungkan.
Sedikitnya jumlah perempuan dalam legislatif tidak langsung mengindikasikan bahwa negara tersebut tidak demokratis atau hak perempuan diabaikan, ini adalah penilaian yang tidak adil, kita sebagai bangsa yang merdeka tidak seharusnya menerima begitu saja pandangan, serta penilaian dari barat apalagi menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kondisi masyarakat, sosial dan kebudayaan negara ini tentu berbeda dengan negara-negara eropa dan amerika, legislatif kita didominasi oleh laki-laki mungkin karena merekalah yang kapabel saat ini, sedangkan kaum wanitanya memang sedikit yang berminat atau kalah dalam kualitas. Sehingga kita tidak perlu tergesa-gesa mengikuti standar orang lain dalam politik, kalau memang yang dicari adalah kemajuan dalam bernegara kita, bukan hanya sekedar memenuhi target kuota sedangkan substansi dari demokrasi itu sendiri kita kerdilkan. Kalau terus seperti ini tidak akan ada perkembangan dalam perpolitikan Indonesia, apalagi partisipasi politik perempuan yang hanya dilihat dari jumlah kuota. Perempuan hanya dijadikan komoditas dalam politik.