Jumat, 06 Agustus 2010

Food Estate, Untuk Siapa?

Masyarakat asli Papua memiliki kearifan lokal yang unik dalam analogi pola interaksi
kehidupan mereka dan alam. Mereka tidak hanya memiliki dimensi ekonomi saja
sebagai penunjang kehidupan, akan tetapi lebih dari itu memiliki makna
religius dan sosial yang sangat berpengaruh pada eksistensi mereka.
Masyarakat Papua mengidentikkan langit dengan sosok ayah yang superior yang
menurunkan embun dan hujan. Menjelajah ke segala arah untuk mencari
kehidupan dan memberi rasa aman. Tanah dimaknai sebagai ibu yang memberikan
kesuburan dan nutrisi. Hutan adalah wujud dari yang Maha Kuasa. Hal ini lah
yang menyebabkan peran dan keberadaan hutan bagi masyarakat Papua tidak
dapat digantikan dengan uang. Namun kearifan lokal itu sedang terkikis dan
akan mendapat tantangan frontal dari perkembangan politik ekonomi yang
semakin mengarah kepada liberalisasi di segala sektor. Ketika arus modal
masuk dan Papua dilihat potensial untuk mengembangkan perkebunan dan
pertambangan, kekayaan kultur tadi kerap ditundukkan dan dikalahkan oleh
kepentingan kapital.

Adalah konsep *food estate* yang menjadi *momok* bagi pertanian tradisional
yang bukan hanya menjadi lahan penghidupan namun juga merupakan tradisi
budaya (*agri-culture*) yang memiliki keunikan tersendiri di setiap daerah.
Dengan dalih untuk mencapai kecukupan pangan dalam negeri dan ekspor, tahun
2010 ini pemerintah akan melakukan pengembangan lahan pertanian pangan dalam
skala besar atau dalam bahasa internasionalnya *food estate*.

*Merauke, target utama pengembangan food estate*

Salah satu yang menjadi target utama pemerintah mengembangkan *food
estate*adalah Kabupaten Merauke, Papua. Sejak beberapa tahun terakhir,
kabupaten yang kini dinahkodai Bupati Johanes Gluba Gebze sudah mencanangkan program
MIFE (*Merauke Integrated Food and Energy Estate*). Berdasarkan keterangan
dari Menteri Pertanian Suswono, pemerintah pusat berniat memanfaatkan lahan
datar di Merauke sebagai sumber pembangunan pertanian untuk mencapai sasaran
kecukupan pangan dalam negri dan ekspor. Sekitar 500.000 Ha lahan pertanian
yang ada di Merauke direncanakan akan dijadikan sebagai tempat untuk
pengembangan lahan pertanian pangan dalam skala besar.

Merauke memiliki cadangan lahan pertanian mencapai 2,49 juta hektare,
terdiri dari luas lahan basah sekitar 1,937 juta Ha dan lahan kering 554,5
ribu Ha. Bahkan, lahan yang ada hampir semua datar sehingga cocok untuk
usaha agribisnis skala komersial. Potensi raksasa itu jelas cukup
menggiurkan calon investor. Dalam konsep MIFE ini, nantinya dilakukan
penataan manajemen lahan dalam satu usaha pertanian yang terintegrasi.
Minimal satu hamparan lahan seluas 1.000 ha yang terdiri 70% usaha tanaman
pangan, 9% usaha ternak, 8% perikanan darat, 8% usaha perkebunan dan 5%
untuk penggunaan lainnya.

*Food Estate* atau kita sebut saja Perkampungan Industri Pangan merupakan
konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi
mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu
kawasan lahan yang sangat luas. Hasil dari pengembangan Food Estate bisa
menjadi pasokan ketahanan pangan nasional dan jika berlebih bisa dilakukan
ekspor. Dan karena skala pertanian ini sangat besar dan luas, maka
pengelolaannya juga dilakukan oleh perusahaan industri. Tentu proyek
ambisius food estate ini menarik banyak investor perusahaan-perusahaan
industri pangan nasional maupun konglomerasi internasional. Sedikitnya
terdapat enam swasta nasional yang sudah siap mengucurkan uangnya untuk
menggarap agribisnis di MIFE. Mereka adalah Bangun Tjipta, Medco Grup,
Comexindo Internasional, Digul Agro Lestari, Buana Agro Tama, dan Wolo Agro
Makmur.

Pemerintah telah membuat sejumlah payung hukum bagi konsep *food estate* ini
sehingga investasi swasta, termasuk asing, bakal tersedot ke dalam negeri.
Penerbitan Instruksi Presiden No 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi
2008-2009, termasuk di dalamnya mengatur investasi pangan skala luas (*food
estate*). Bahkan saat ini kementrian pertanian masih menunggu dikeluarkannya
PP tentang pemanfaatan tanah terlantar.

Setiap perusahaan bisa mendapatkan izin untuk mengelola lahan maksimal 10
ribu hektare, kecuali untuk badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah. Izin pengelolaan diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan bisa
diperpanjang lagi untuk 35 tahun lalu 25 tahun. Adapun pembagian lahan untuk
proyek di Merauke, 1 juta hektare lahan akan dialokasikan untuk penanaman
tanaman pangan, 100 ribu hektare dialokasikan untuk peternakan, 100 ribu
hektare untuk perikanan, dan sisanya untuk perkebunan.

Area yang tersedia dibagi dalam 10 cluster sentra produksi pertanian dan
empat cluster prioritas, yaitu cluster Greater Merauke (padi sawah dan gogo
serta jagung), Salor (padi, tebu, jagung, sapi, kacang tanah, dan kacang
kedelai), Kartini (jagung, kacang tanah, kedelai, dan buah-buahan), serta
Muting (Kacang tanah, sawit, dan buah-buahan).

Dari sini dapat dilihat bahwa konsep *food estate *ini akan membuka keran
sebesar-besarnya bagi para pemodal untuk dapat menguasai lahan pertanian
bahkan dapat dikatakan konsep *food estate * ini merupakan *land
grabbing*(perampasan tanah-red) pertanian oleh pihak swasta yang
dilegalkan pemerintah. Akibatnya, kepemilikan lahan milik petani rakyat berkurang
secara signifikan, kehidupan petani akan memburuk karena tergusur korporat,
dan petani akan menjadi buruh di tanahnya sendiri.

Pengembangan konsep *food estate *ini membahayakan karena swasta asing bisa
menguasai pertanian dari hulu sampai hilir. Sektor yang berkaitan dengan
hajat hidup orang banyak ini tidak seharusnya dilepas pada mekanisme pasar,
karena dapat mengganggu cita-cita kedaulatan pangan akibat kemungkinan
terjadinya monopoli dan harga yang tak dapat dikendalikan.

Bagi kalangan investor besar, pengembangan *food estate *bisa memberikan
jawaban. Tapi bagi peningkatan kesejahteraan petani yang berlahan sempit, *food
estate *belum mampu menjawab persoalan malah makin memperparah keterpurukan
petani setelah kebijakan-kebijakan berbau neoliberal yang diterapkan
pemerintahan ini. Pengembangan *food estate *justru bertentangan dengan
upaya pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani.

Pembukaan lahan secara besar-besaran yang akan dilakukan oleh para investor
dalam program *food estate* pasti menimbulkan kegelisahan bagi masyarakat
adat di Kabupaten Merauke. Pasalnya, dalam hal ini pihak adat tidak pernah
diajak berembuk bersama dengan pemerintah maupun investor. Sehingga
masyarakat adat dirugikan dengan keadaan tersebut. Warga Papua akan menjadi
penonton dan akan semakin jauh terpinggirkan. Dan program ini menurut
Moyuend wakil ketua I LMA (Lembaga Masyarakat Adat) Papua kurang pas karena
pemerintah membuat suatu loncatan dari masyarakat yang saat ini masih peramu
(meramu sendiri makanannya) ke arah yang lebih tinggi. Masyarakat
tradisional Papua yang minoritas akan terpinggirkan jika pengelolaan tanah
beralih ke sistem modern dan dengan dibukanya kesempatan yang luas untuk
pendatang masuk ke merauke.

Pemerintah dapat belajar dari penerapan program perkebunan inti rakyat (PIR)
di Papua pada awal tahun 1980-an, dampak sosial yang ditimbulkan sangat
tinggi. Masyarakat asli Papua dihadapkan pada peralihan pola hidup, dari
meramu menjadi pola industri yang berbasis perkebunan rakyat yang sebenarnya
asing bagi mereka. Hutan kayu dan sagu yang sebelumnya menjadi basis hidup
mereka tiba-tiba lenyap dan berganti menjadi kebun kelapa sawit. Reproduksi
pangan seperti umbi-umbian dan sayur mayur mulai sulit dilakukan, binatang
buruan sulit didapatkan.

Program *food estate *yang dicanangkan ini semakin membuat masyarakat asli
Papua terpinggirkan. Karena harus diakui dalam dimensi investasi, penguatan
sosial masyarakat kerap diabaikan. Yang menjadi fokus utama adalah
pertumbuhan investasi dan laju modal. Gagasan dan rasa memiliki masyarakat
asli Papua perlu diperhatikan karena mereka melihat tanah bukan semata-mata
sebagai modal usaha. Lebih dari itu, tanah adalah bagian eksistensial dari
budaya dan keberadaan mereka.

Berikut adalah kemungkinan kerugian implikasi *Food Estate*:

1. Potensi lahan yang dimiliki oleh rakyat Indonesia tidak bisa maksimal
dimiliki dan dikelola secar penuh oleh petani Indonesia. Apalagi jika
mengacu kepada Undang-undang No 25/2007 tentang Penanaman Modal (UUPM)
dengan berbagai turunannya yang memberikan peluang bagi investor untuk
semakin menguasai sumber-sumber agraria, Peraturan Presiden No 77/2007
tentang daftar bidang usaha tertutup dan terbuka disebutkan bahwa asing
boleh memiliki modal maksimal 95 persen dalam budi daya padi. Peraturan ini
jelas akan sangat merugikan 13 juta petani padi yang selama ini menjadi
produsen pangan utama. Apalagi 77 persen dari jumlah petani padi yang ada
tersebut masih merupakan petani gurem.
2. Jika perpres atau peraturan lain yang dihasilkan pemerintah tentang
Food Estate ini lebih berpihak kepada pemodal daripada petani maka
kemungkinan konflik seperti konflik di perkebunan besar yang ada selama ini
akan terjadi juga di Food Estate. Bisa jadi akan muncul “tuan takur” baru
yang menguasai lahan begitu luas dan menjadi penguasa setempat.
3. Jika peraturan yang lahir nanti memberikan kemudahan dan keluasan bagi
perusahaan atau personal pemilik modal untuk mengelola Food Estate maka
karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant based
and family based agriculture menjadi corporate based food dan agriculture
production. Kondisi ini justru melemahkan kedaulatan pangan Indonesia.
4. Jika pemerintah tidak mampu mengontrol distribusi produksi hasi dari
Food Estate maka para pemodal akan menjadi penentu harga pasar karena
penentu dijual di dalam negeri atau ekspor adalah harga yang menguntungkan
bagi pemodal.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih menyesalkan langkah
yang diambil pemerintah untuk mendongkrak produksi padi nasional melalui
program *food estate*. Pengembangan *food estate *justru bertentangan dengan
upaya pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani.
Menurutnya, dengan adanya pembukaan *food estate*, maka karakter pertanian
dan pangan Indonesia makin bergeser dari *peasant-based and family-based
agriculture *menjadi* corporate-based food *dan *agriculture production*.
Kondisi ini justru melemahkan kedaulatan pangan Indonesia.

Pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan persoalan kesejahteraan petani
ketimbang mengundang investor besar membangun *food estate*. Sebab, problem
petani berlahan sempit dan kesejahteraan petani hingga kini belum mampu
diselesaikan pemerintah. Setidaknya, kini ada 9,55 juta kepala keluarga (KK)
petani yang kepemilikan lahannya di bawah 0,5 ha. Karena tidak mungkin
petani yang mempunyai lahan sempit bisa sejahtera.