Jumat, 17 April 2009

Berpoligami Dan Kedewasaan Berdemokrasi


Ada fenomena yang mengusik pikiran saya saat kemaren masa kampanye pra pemilu legislatif. Ada sebuah gerakan yang dipelopori oleh aktivis perempuan (atau yang kerennya disebut feminis) yang menyoroti caleg-caleg mana saja yang melakukan Poligami. Untuk apa aktivis2 perempuan ini mencari-cari caleg yang mempraktikkan Poligami? Mereka rupanya ingin mengkampanyekan kepada seluruh calon pemilih terutama pemilih wanita untuk tidak memilih caleg yang melakukan Poligami.

Kalau untuk aktivitas para feminis tersebut menyoroti caleg mana saja yang mempraktikkan Poligami untuk di publikasikan kepada calon pemilih saya pikir sah-sah saja. Kita malah harus berterimakasih kepada para aktivis tersebut karena telah membantu masyarakat umum untuk mengenal lebih dalam pribadi caleg-caleg yang ada Sebagai negara yang demokratis dan menjamin keterbukaan informasi bagi seluruh lapisan masyarakatnya, kegiatan aktivis feminisme ini adalah contoh tegaknya sebuah pilar demokrasi. Lalu apa yang mengusik pikiran saya?

Pikiran saya terusik ketika kemudian para feminis tersebut mengkampanyekan kepada masyarakat - khususnya perempuan untuk tidak memilih caleg-caleg yang melakukan Poligami. -(Kita tentu sudah paham kenapa para feminis sangat anti pada Poligami, feminis menganggap poligami itu sangat merendahkan harkat dan martabat wanita. Kita tidak perlu lagi membahas masalah itu disini, karena sudah terlalu banyak saya kira tulisan maupun forum2 diskusi yang membahas persoalan itu, lagi pula saya memang kurang mengerti alur pikiran feminis2 ini.)- Saya terusik karena saya sama sekali tidak sepakat dengan apa yang mereka kampanyekan. -(Perlu dicatat bahwa saya sampai saat menulis artikel ini sama sekali belum menikah apalagi dua kali atau tiga, wong pacaran aja ngga, jadi saya ingin menghilangkan pretensi bahwa saya mendukung salah satu dari dua wacana ini yaitu Poligami dan Feminisme)- Saya terusik karena apa yang dilemparkan oleh aktivis perempuan tersebut kepada masyarakat luas adalah sebuah pembelajaran politik yang salah dan menyesatkan.

Saya tidak tahu apa landasan para aktivis perempuan tersebut mengeluarkan ‘fatwa’ untuk tidak memilih caleg yang berpoligami. Perlu saya ingatkan pembahasan kita sekarang dalam ranah politik, khususnya kita membahas Calon Legislatif atau wakil rakyat di parlemen. Kenapa saya katakan wacana yang dilemparkan oleh feminis agar tidak memilih caleg yang berpoligami adalah salah dan menyesatkan; apakah para feminis tersebut begitu yakinnya bahwa caleg yang tidak berpoligami lebih baik daripada yang berpoligami, lalu berdasarkan apa pertimbangan mereka bahwa caleg yang berpoligami tidak akan lebih baik melaksanakan tuganya nanti di lembaga legislatif apa hubungannya berpoligami dengan tugasnya sebagai legislator? Adalah sangat emosional jika seorang pemilih untuk menetapkan wakilnya di legislatif berdasarkan keadaan rumahtangga calon legislatif tersebut. Wacana untuk tidak memilih caleg yang berpoligami tidak memberikan pelajaran kepada pemilih untuk memilih berdasarkan rasional. Saya pikir para feminis tersebut secara emosional telah kebablasan memasuki ranah politik praktis dengan mewacanakan tidak memilih caleg berpoligami. Karena sangat membenci praktik poligami mereka juga sangat menbenci orang yang melakukannya, sehingga mereka merasa perlu bahwa caleg-caleg yang terpilih nanti tidak ada dari mereka yang melakukan poligami.

Untuk memilih wakil rakyat seharusnya yang dilihat rekam jejak apa saja yang telah dilakukannya untuk kepentingan umum maupun negara, prestasinya apa saja dan apa visi dan misinya kedepan. Feminis seharusnya tidak mencampur baurkan kondisi rumahtangga seseorang (politikus) dengan kapabilitas nya dalam menjalankan apa yang menjadi atau akan menjadi tanggungjawabnya, karena itu sangat tidak fair dan tidak rasional. Sampai kapan masyarakat Indonesia akan menjadi dewasa dalam berdemokrasi kalau penggiat2 perempuannya saja tidak dapat dewasa dalam berdemokrasi. Kita lihat kasus perselingkuhan Clinton dengan lewinsky, masyarakat Amerika yang sudah dewasa dalam berdemokrasi mampu memisahkan skandal seks presidennya dengan kapabilitasnya sebagai seorang pemimpin negara. Mereka tidak serta merta memecat presidennya yang terbukti selingkuh dengan perempuan lain selain istrinya, tetapi tetap memberikan kesempatan pada Clinton untuk memberikan kemampuan terbaiknya bagi Negara sampai akhir masa jabatannya. Saya dapat memahami perasaan wanita pada umumnya terhadap Poligami, namun penggiat feminis sebaiknya tidak menilai kredibilitas seseorang dalam ranah sosial dan politik dari kondisi rumahtangganya, terdengar sangat naif.

Masyarakat kita memang masih jauh dari kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi, dapat kita lihat dari kasus Pilkada2 di daerah yang sering berakhir ricuh karena tidak siap menerima kekalahan dan sebagainya. Masyarakat kita tidak memilih pemimpinnya berdasarkan pertimbangan yang Benar2 rasional, banyak dari mereka memilih karena kedekatan emosional, ketertarikan pada citra, fisik, kesamaan suku, agama dan sekarang ini pada iklan. Sebagai salah satu gerakan sosial, feminisme seharusnya mendukung perubahan masyarakat yang lebih baik, bukannya membutakan mata masyarakat dengan kesinisan mereka yang membabi buta pada patriarkhi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar